Beberapa minggu yang lalu, tepatnya saat libur semester kemarin, saya berada di Depok dan saya mendapat kabar dari saudara saya di Jogja bahwa seorang Bapak tetangga saya di sana meninggal. Awalnya, saya tidak mengenali siapa orang tersebut karena memang saya tidak hafal namanya, tapi kemudian setelah saya berbincang dengan Ayah dan Bulik saya, saya tahu siapa orang yang dimaksud. Menariknya, jika ditarik lebih jauh ke beberapa minggu atau bulan ke belakang, saya sering sekali melihat bapak tersebut di masjid, saat berangkat atau pulang dari Masjid, atau sedang di dekat rumah memberikan makan cucunya yang sedang bermain. Lalu, saya teringat ke suatu pagi ketika saya berjalan di belakang beliau sepulang dari Masjid untuk melakukan sholat subuh. Saat itu saya melihat beliau yang berjalan di depan saya dengan sangat termenung. Dari fisiknya saya melihat tidak ada yang sakit dari bapak ini, saya yakin beliau sehat-sehat saja. Tapi, pagi itu saya berkata di dalam benak saya, "kenapa bapak ini? Gelisah banget gesturnya, kayak orang mau meninggal."
Yang ingin saya tulis di sini adalah beberapa momen yang sangat memorable tentang kematian orang di sekitar saya. Semuanya adalah murni yang pernah terbesit di benak saya, kejadiannya pun real, dan ini semua saya tulis dengan maksud untuk membagi pengalaman agar kita semua bisa belajar bahwa kematian tidak perlu menunggu tua ataupun sakit. Kematian bisa hadir dari arah yang tidak disangka-sangka. Kapanpun. Maka, pertanyaannya adalah, sudahkah kita menyiapkan diri kita untuk kapan saja dipanggil oleh-Nya?
Bang Ariyadi.
Itu bukan pengalaman saya satu-satunya. Ketika saya SMA, saya pernah juga berkata dalam benak saya sendiri tentang seorang kakak kelas saya, Bang Ariyadi. Awalnya saya tidak terlalu kenal siapa beliau, hingga Rohis mempertemukan kami. Beliau sama seperti anak SMA biasanya, kadang suka petakilan, beliau juga bijak dan suka menasihati saya sebagai adik kelas, apalagi menjelang akhir wafatnya, banyak nasihat-nasihat yang beliau sampaikan mungkin tidak hanya kepada saya, tapi juga ke beberapa teman saya. Beliau wafat ketika saya duduk di kelas XI, tapi jujur saja, saat saya kelas X, saya sempat merasa bahwa beliau sakit hanya main-main karena malas belajar. Saya sempat berpikir seperti itu dalam benak saya. Karena ketika saya pertama kali menjenguk beliau, ketika masih dirawat di RS. Fatahilah, beliau masih sangat ceria. Bahkan ada satu momen ketika saya duduk di samping beliau, kemudian beliau menepuk pundak saya sambil ketawa, "dhit, minggir dong, Ane mau nonton, ente ngalangin."
Lalu, setahun kemudian, Bang Ariadi yang seharusnya naik ke kelas XII malah tetap berada di kelas XI, satu angkatan dengan saya. Kelasnya juga berada di sebelah kelas saya, membuat kami sering ketemu dan berbincang. Saat itulah saya merasa bahwa sakit yang dialami beliau bukanlah main-main. Beliau tidak dinaikkan ke kelas XII karena hampir setahun tidak masuk sekolah. Semakin saya mengenal beliau, semakin saya mengenal keluarga beliau, semakin saya tahu bahwa beliau benar-benar sakit. Terakhir, ketika beliau masuk RSCM dan saya ikut menjenguk bersama teman-teman kelas XI IPA 6, kelas beliau, di saat itulah saya melihat sosok Bang Ariyadi yang benar-benar sakit. Beliau tersenyum, tapi dari raut wajahnya, dari matanya yang merah banget, tubuhnya yang juga semakin gemuk, itu semua tidak bisa membohongi rasa sakit yang dideritanya. Saya memang tidak bisa merasakan sesakit apa yang beliau rasakan, tapi saat itu benak saya berkata, "sumpah, kali ini beliau beneran sakit. Ga bisa dibohongin. Mungkin meninggal adalah cara paling tepat untuk membuat beliau berhenti tersiksa."
Beliau sempat berkata untuk tidak memberi tahu ke orang-orang di mana beliau dirawat, termasuk orang tuanya berkata demikian. Beliau berkata, beliau ingin istirahat full. Saya pun melihat, dan baru kala itu saya pertama kali melihat orang dirawat tidak ingin dijenguk oleh siapapun. Kala itu pula saya melihat betapa orang sangat tersiksa dalam sakitnya, hingga ketika orang datang menjenguk pun membuatnya harus menguras tenaga dan menahan rasa sakit untuk tersenyum dan melayani lemparan pertanyaan dari para penjenguk.
Amelia Aisyah.
Saya tidak terlalu kenal Amel. Pertama kali saya melihatnya itu ketika ada acara futsal di Smansa, lalu dia berjalan berdua bersama Faiq sambil menawarkan makanan untuk Danus sebuah acara. Saat itu kelas X dan dia belum menggunakan hijab. Saya tidak pernah berbincang dengan dia. Tatap-tatapan pun nampaknya ga pernah, kalaupun pernah mungkin sesekali, yaitu ketika saya, dia, Fahd, Rakhmi, dan satu lagi perempuansaya lupa (kayaknya Rafika), berada di satu mobil yang sama untuk mencari sponsor Aksi (pentas seni SMA saya). Lalu, saya ingat sebuah momen (mungkin ini bodoh ya dan ga perlu diceritakan, tapi saya beneran masih inget momen ini) ketika saya duduk di kursi depan mobil dan tangan kanan saya memegang bantalan kepala kursi saya. Lalu, dia masuk ke dalam mobil dan tangannya secara tidak sengaja memegang bantal kepala tempat duduk saya, sehingga dia sekaligus megang tangan saya saat itu. Dan selama saya kurang lebih 3 tahun di Smansa, mungkin cuma itu pengalaman terdekat saya dengan dia. Ngobrol ga pernah, rapat bareng juga kayaknya ga pernah. So no more.
Singkat cerita, sampailah pada hari yang kemudian beliau meninggal di hari tersebut. Saat itu sekitar pukul 11:30 siang, saya sedang berada di kelas XII IPS 1 alias Nakula. Seingat saya, saat itu sedang sesi kelas Sosiologi alias kelasnya Bu Tari. Saya lupa persisnya, tapi kurang lebih saat itu sesinya sedang ga jelas di kelas. Mungkin habis kuis, atau habis ngerjain sesuatu, tapi sudah selesai sebelum bel berbunyi. Jadi, saya memutuskan untuk pergi ke Al Wustho lebih awal untuk sholat dhuha sekalian sholat dzuhur nanti (karena saya belum sholat dhuha, jadi buru-buru). Lalu, saya melepas sepatu dan kaus kaki saya, kemudian berlari dalam kondisi telanjang kaki ke luar kelas menuju Al Wustho. Kemudian ketika saya sampai di tikungan dekat tribun, saya nyaris menabrak 2 orang perempuan yang awalnya saya tidak tahu karena saya tidak melihat wajahnya. Kemudian karena jalannya hanya muat untuk satu orang, maka saya mundur ke depan kelas XII IPS 2. Di sanalah kemudian saya melihat wajah dua perempuan yang nyaris saya tabrak itu. Mereka adalah Ome dan Amel. Ome yang pertama kali lewat sambil ketawa-ketawa memandang saya, lalu saya bales dengan gestur "sorry yak". Setelah Ome lewat, lalu Amel lewat sambil memandang saya dan tersenyum. Saya tidak ingat saat itu saya balas dengan gestur seperti apa, tapi kayaknya saya senyumin balik. Menariknya adalah, saat itu mungkin adalah kali pertama saya tatap-tatapan langsung dengan Amel, dikasih senyum pula. Dan setelah mereka lewat, saya kemudian kembali lari hingga terhenti di tangga dekat Al Wustho. Satu hal yang harus kalian percaya adalah, sejak saya disenyumin Amel sampai saya berdiri di tangga Al Wustho, saya berpikir sambil membayangi senyumannya. Saya berpikir persis apa yang saya tuliskan di postingan ini. Saya berpikir bahwa itu adalah senyuman satu-satunya selama 3 tahun ini dan entah kenapa senyuman itu masih terngiang-ngiang sampai saya wudhu. Jujur saja. Detik itu saya tidak pernah tahu apa yang terjadi maghrib nanti, yaitu kematian Amel. Detik itu, benak saya hanya berpikir, "sumpah manis banget senyumnya. gua gapernah merasa ada anak Smansa ngasih senyum semanis itu. sumpah wajahnya fresh banget. Tapi kenapa? Kok tumben? Mungkin ini pertama kali dalam 3 tahun sekolah di sini."
Mungkin kalo anak rohis udah menyebut ini sebagai zina mata atau zina pikiran. Tapi, jujur aja. Kalo di antara kalian yang membaca ini merasa bahwa ini dilebih-lebih kan, saya jawab: Nggak. Sumpah. Kalau memang saya lebih-lebihkan, maka ingin sekali menuliskan bahwa di saat yang bersamaan saya punya firasat tentang meninggalnya Amel. Tapi, jawabannya tidak. Yang ada di benak saya saat itu hanyalah senyuman Amel dan firasat "kok tumben ya?". Sebatas itu saja.
Kemudian kabar meninggalnya Amel saya dapatkan ketika saya sedang di rumah, tepatnya baru saja sampai rumah dari tempat Bimbel Nurul Fikri. Saat itu saya baru aja masuk rumah, duduk, TV belum sempat saya nyalakan, lampu rumah belum semua saya nyalakan, lalu saya langsung membuka handphone. Di saat itulah saya mendengar kabar meninggalnya Amel pertama kali. Memori saya seakan langsung melempar saya ke senyuman Amel siang tadi dan zina pikiran saya selama lari ke Al Wustho itu. Saya saat itu termasuk orang yang telat mengetahui kabar ini. Akhirnya saya pun komunikasi dengan Iqbal dan kami memutuskan untuk menyusul ke rumah sakit jenazah. Saya juga ingat sekali, saat itu saya naik motor iring-iringan sama Iqbal, dan di jalan Iqbal teriak: "Ta! Jangan ngebut-ngebut. Santai aja. Kita juga udah telat. Nanti malah ente yang meninggal juga kalo ngebut!"
Mungkin kalo anak rohis udah menyebut ini sebagai zina mata atau zina pikiran. Tapi, jujur aja. Kalo di antara kalian yang membaca ini merasa bahwa ini dilebih-lebih kan, saya jawab: Nggak. Sumpah. Kalau memang saya lebih-lebihkan, maka ingin sekali menuliskan bahwa di saat yang bersamaan saya punya firasat tentang meninggalnya Amel. Tapi, jawabannya tidak. Yang ada di benak saya saat itu hanyalah senyuman Amel dan firasat "kok tumben ya?". Sebatas itu saja.
Kemudian kabar meninggalnya Amel saya dapatkan ketika saya sedang di rumah, tepatnya baru saja sampai rumah dari tempat Bimbel Nurul Fikri. Saat itu saya baru aja masuk rumah, duduk, TV belum sempat saya nyalakan, lampu rumah belum semua saya nyalakan, lalu saya langsung membuka handphone. Di saat itulah saya mendengar kabar meninggalnya Amel pertama kali. Memori saya seakan langsung melempar saya ke senyuman Amel siang tadi dan zina pikiran saya selama lari ke Al Wustho itu. Saya saat itu termasuk orang yang telat mengetahui kabar ini. Akhirnya saya pun komunikasi dengan Iqbal dan kami memutuskan untuk menyusul ke rumah sakit jenazah. Saya juga ingat sekali, saat itu saya naik motor iring-iringan sama Iqbal, dan di jalan Iqbal teriak: "Ta! Jangan ngebut-ngebut. Santai aja. Kita juga udah telat. Nanti malah ente yang meninggal juga kalo ngebut!"
Sesampainya di rumah sakit, saya dan Iqbal berjalan lewat lorong-lorong entah ke mana arah yang mau kami tuju. Saya bingung banget. Saat itu sudah banyak sekali anak Smansa yang duduk di pinggir lorong dan menangis. Saya berbisik ke Iqbal, "kita mau berhenti di mana?". Lalu Iqbal jawab, "di ujung aja itu ada Abay, kita tanya-tanya ke Abay.". Ya, karena kami telat dan kami tidak dekat dengan Amel, maka cara yang tepat adalah bertanya ke ketua angkatan kami, Abay. Abay pun menceritakan ini itu dan kemudian entah siapa yang mendorong saya melakukan ini, dari mulut saya terceplos pertanyaan yang kemudian sangat saya sesali, "kamar mayatnya di mana, bay?". Abay jawab, "Tuh di situ, kayaknya boleh deh masuk." sambil menunjuk salah satu kamar di ruangan tempat kami berbincang.
Saya pun berjalan menuju ruangan tersebut yang kemudian diikuti Iqbal di belakang. Saya buka pintu ruangan tersebut dan..... Itu adalah pemandangan ter.... entahlah, saya belum pernah melihat pemandangan seperti ini sepanjang hidup saya. Yang saya lihat adalah kamar kecil dengan seorang jenazah di dalamnya. Jenazah yang tertutup kain dan di bawahnya darah menetes ke lantai dari tubuh jenazah tersebut. Parahnya, kemudian beberapa teman saya yang tadinya duduk di lorong, ikut masuk ke dalam ruangan sempit ini dan melihat kondisi jenazah. Saya yang tidak bisa keluar ruangan karena begitu banyak orang di belakang saya yang menutup jalan keluar, membuat saya dengan terpaksa harus terus memandangi apa yang ada di hadapan saya. Dan percayalah, sepulang ke rumah, malam itu saya tidak bisa tidur dan baru tidur sekitar jam 2 atau jam 3 pagi. Lalu, saya juga sulit makan (enek kalo makan) sampai sekitar 3 hari.
***
Yang mau saya sampaikan di sini adalah bahwa kematian tidak selalu menunggu tua atau menunggu kita sakit. Di kisah pertama ada tentang kematian seorang bapak-bapak yang memang sudah tua. Lalu, ada juga kisah kematian Bang Ariyadi yang sebelumnya merasakan sakit yang begitu lama, hingga kepala beliau pun botak tanpa rambut sedikitpun. Lalu di kisah terakhir ada tentang kematian Amel yang begitu tidak terduga. Semuanya berjalan normal-normal saja sampai tiba-tiba malam itu Amel sudah tidak ada. Pertanyaannya adalah, apakah diri kita sudah siap untuk kapan saja dipanggil oleh-Nya?