Jumat, 11 April 2014

Nikmat itu Sederhana

Hari ini, Jumat, 11 April 2014.
Satu hal lagi yang menamparku.

Kisah ini terjadi saat saya sedang melaksanakan ibadah sholat Jumat. Seperti biasa, 10 menit sebelum waktu adzan, saya sering sekali tidur. Ini berlangsung sejak saya mengetahui betapa pentingnya mendengarkan khutbah Jumat dalam rangkaian ibadah sholat Jumat. Jadi, saya memutuskan untuk memajukan jam tidur saya menjadi 10 menit sebelum adzan.

Ya, saat itu, saya mendengarkan adzan dengan mata yang masih setengah terbuka, terasa sangat berat, konstan dalam benak saya, mungkin saya membutuhkan 2-3 menit lagi untuk tidur. Hingga, saya terbangun ketika terdengar suara berisik di sebelah saya.

Ternyata, bapak-bapak di sebelah saya sedang membicarakan Khatib pengganti, karena khatib yang terjadwal tidak kunjung hadir. Saya hanya mengamati. Tak lama, berdirilah salah seorang dari 3 orang bapak-bapak di sebelah saya, dengan dibantu oleh muadzin menuju mimbar.

Awalnya, saya berpikir, beliau adalah kakek tua yang sudah kesulitan dalam berjalan. Tapi ternyata, beliau adalah seorang bapak-bapak biasa, kisaran umur 50 tahun. Seharusnya, di umurnya, beliau masih kuat untuk bangun dan bergerak ke mimbar. Tapi ternyata, yang membuatnya digandeng menuju mimbar adalah.. keadaannya yang buta. Ya, beliau buta. Dan beliau adalah khatib pengganti, sekaligus imam sholat Jumat.

            Siang itu, beliau berceramah sangat singkat, hanya sekitar 20 menit. Namun dari kalimat-kalimat yang dikeluarkannya, terdengar kefasihannya, terlihat bahwa beliau adalah orang yang paham. Padahal dia buta, tapi tak ada satupun buku atau alat bantu lainnya yang ada di mimbar saat itu. Melainkan beliau membacakan ayat demi ayat dengan lancar, dan menerjemahkannya dengan baik pula.

            Hingga saya mendengar beberapa kalimat yang sangat menusuk batin saya, kalimat itu berbunyi,

“..Kenikmatan itu tidak terletak di mata, kaki, telinga, atau yang lainnya, melainkan ia terletak di hati. Bayangkan, jika kenikmatan Allah letakkan di mata, maka orang buta tidak akan bisa merasakannya. Begitupun orang lumpuh, jika kenikmatan Allah letakkan di kaki, mereka tidak akan bisa merasakannya. Begitupun orang fakir, jika kenikmatan itu diletakkan pada harta kekayaan, maka mereka takkan bisa merasakannya..”

Perhatikan akhi, apa yang terjadi pada para pejabat negeri ini? Mereka punya harta, kekayaan melimpah-ruah, mobil begitu banyak, rumah mewah, namun masuk rutan KPK. Apakah itu kenikmatan? Jelas tidak.

Begitu banyak orang yang tercukupi dalam segi finansial, mobil punya, motor punya, keluarga lengkap, ipad, dan lain-lainnya, tapi hatinya tidak tenang. Kenapa? Karena indahnya islam, tidak tersentuh ke dalam hatinya.

Tengoklah Abdurrahman bin Auf –radhiallahu anhu-, beliau adalah sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang dijamin masuk surga. Orang paling kaya diantara kaum muslimin, dalam sebuah hadits dikatakan beliau paernah memerdekakan 3000 budak, dalam hadits lain beliau juga pernah mewasiatkan hartanya kepada 100 orang sahabat yang ikut perang badar, masing-masing diberikan 400 dinar. Subhanallah. Beliau kaya dan beliau sangat dermawan, perhatikan hadits berikut ini,

Suatu hari `Abdurrahmân Radhiyallahu anhu diberi makanan, padahal dia sedang berpuasa. Ia mengatakan, “Mush`ab bin Umair telah terbunuh, padahal dia lebih baik dariku. Akan tetapi ketika dia meninggal tidak ada kafan yang menutupinya selain burdah (apabila kain itu ditutupkan di kepala, kakinya menjadi terlihat dan apabila kakinya ditutup dengan kain itu, kepalanya menjadi terlihat). Demikian pula dengan Hamzah, dia juga terbunuh, padahal dia lebih baik dariku. Ketika meninggal, tidak ada kafan yang menutupinya selain burdah. Aku khawatir balasan kebaikan-kebaikanku diberikan di dunia ini. Kemudian dia menangis lalu meninggalkan makanan tersebut.”                 (Ash-Shahabah hlm 253)

Begitulah keadaannya, ketika kekayaan diiringi dengan ketakwaan. Bahkan manisnya dunia yang sudah di depan mata, manisnya kenyataan dunia yang bahkan ia raih tanpa sepeserpun uang hasil riba, atau hasil korupsi, ataupun hasil jalur haram lainnya. Ia tetap enggan memakannya, hanya karena takut bahwa Allah mendahulukan balasan-balasan atas segala kebaikannya, di dunia. Abdurrahman bin Auf. Subhanallah.