Sabtu, 08 Oktober 2016

2 Tahun di Yogyakarta

Yogyakarta, kota yang tidak pernah lepas dari kehidupan saya. Sejak saya kecil, pengalaman mudik tiap tahun menjadi saksi kenangan saya bersama kota ini. Begitu pula ketika saya dewasa, entah mengapa, Tuhan telah menakdirkan saya untuk tinggal, menetap, dan berkarya di Kota Pelajar dan Kebudayaan ini.

Ada orang bijak yang berkata, "Remember why you started". Sebuah kalimat yang sangat mainstream dan selalu dijadikan alat oleh teman-teman saya untuk memotivasi saya ketika saya sedang tidak mood berkuliah, lack motivation dalam menjalani kehidupan, sampai ketika saya sedang kangen keluarga di Depok. Tapi, memang kenyataannya kalimat tersebut sangat kaya akan makna. Apalagi bagi saya, seorang anak rantau dari Ibukota yang memiliki kisah sangat menarik dibalik kenapa memilih dan sampai saat ini bisa berada di tanah Yogyakarta.

Semua berawal dari mimpi
Sejak kecil saya sudah mencintai kota ini. Kota yang menyuguhkan nuansa yang sangat berbeda di tiap sudut-sudutnya. Kota yang menyuguhkan keindahan pariwisata yang beraneka-ragam, pantai, pegunungan, sungai, goa, karst, candi, keindahan bawah laut, hingga keindahan nuansa budaya di tiap sudut-sudut kota ini. Selain itu juga didukung oleh keramahan masyarakatnya, polusi yang jauh lebih rendah jika dibandingkan Jakarta, jalan raya yang lebih halus dan lebih unik, fasilitas umum yang memadai dan juga kece, serta biaya hidup yang sangat murah. Ini semua yang kemudian mendasari saya untuk bermimpi bisa berkuliah di Yogyakarta.

Kelas XII SMA adalah masa-masa yang penuh dengan kejutan, khususnya dalam hal SNMPTN dan SBMPTN. Dua tahun yang lalu, saya ingat betul ketika saya memilih Bisnis Islam FEB UI dan Ilmu Ekonomi Islam FEB UI. Saat itu yang ada di benak saya hanyalah kuliah di UI agar tidak jauh dari rumah dan mengambil jurusan-jurusan dengan passing grade terendah di Fakultas yang terbaik.  Saya benar-benar hanya mengincar sesuatu yang sifatnya medioker (kalo kata Ahong). Saya tidak terpikirkan apa yang akan menjadi pilihan pertama saya, karena menurut saya apapun pilihan saya tersebut saya hanya memungkinkan untuk meraih pilihan ke-2 atau ke-3. Di samping itu, saya berencana untuk mengambil jurusan Manajemen di Universitas Brawijaya Malang. Kenapa? Karena saya pikir, Malang memiliki letak geografis yang sangat bagus. Dekat dengan pegunungan, dingin, dan mungkin saya bisa kuliah sambil menggembala domba di sana.

Kemudian nama UGM baru muncul di benak saya ketika saya liburan bersama rekan saya Ivan Haddar ke Jogja selepas Ujian Nasional, tapatnya ketika Smansa sedang mengadakan Aksi. Di Jogja, saya dan Haddar sempat bermain ke Sunmor (Sunday Morning) UGM dan saya kebetulan lewat Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Di saat itulah terlintas dalam benak saya, "wah, bagus juga nih kampus.". Kemudian saya langsung mem-foto Pertamina Tower dan mem-posting di Instagram, di saat itulah saya mulai berpikir serius untuk meletakkan FEB UGM di pilihan pertama SBMPTN kelak. Kenapa? Karena saya bermimpi atau punya cita-cita untuk bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi mahasiswa di sebuah kota pariwisata yang syarat akan budaya, berada di tengah-tengah keramanahan masyarakat Jogja, dan bisa pulang-pergi ke Depok naik kereta.

Itu adalah cerita di balik alasan saya memilih kuliah di Jogja. Mungkin kisah spesifik tentang SBMPTN akan saya tulis kemudian, karena apa yang saya ceritakan di sini masih sangat tidak detil dan masih banyak sekali kejadian memorable yang belum diceritakan.

2 Tahun di Jogja
Setelah dua tahun tinggal di Jogja, saya semakin yakin untuk berkata bahwa Jogja itu bukan sekadar sebuah kota, Jogja bukan sekadar sebuah tempat wisata. Jogja adalah sebuah nuansa. Nuansa yang penuh dengan kedamaian serta mampu menenangkan hati dan pikiran. Nuansa inilah yang membuat saya ataupun banyak orang diluar sana seringkali rindu untuk bisa kembali pulang ke kota ini.

Entah mengapa, ketika di Jogja, ngebut dalam berkendara itu benar-benar akan merasa rugi. Kenapa? Karena, sudut-sudut kota Jogja terlalu indah untuk dilewatkan. Cukuplah Anda naik motor kemudian berputar-putar menyusuri Kota ini di pagi atau malam hari (karena kalo siang panas), cukup bisa merelaksasikan pikiran Anda.

Kota ini benar-benar memfasilitasi liburan kita dengan sangat baik. Kita bebas memilih mau ke pegunungan di utara dan barat, atau ke laut di selatan, atau ke candi-candi di timur, ataupun hanya berwisata di tempat-tempat wisata di dalam kota Jogja itu sendiri. Saya sendiri mengalami betul ketika sedang lelah kuliah dan butuh relaksasi, saya cukup berkendara 30 menit ke utara atau 45 menit ke selatan, atau cukup ke warnet terdekat dan numpang mengambil beberapa film sudah, ini semua sudah menjadi wahana relaksasi yang sangat menyenangkan.

Selain itu, kota ini juga memfasilitasi mahasiswa dengan sangat baik. Ada banyak sekali kampus di kota ini dan seiring dengan hal tersebut banyak juga tempat-tempat kongkow yang sangat nyaman untuk makan sambil berbincang-bincang, atau ngopi sambil nugas, dan lain-lain. Kota ini juga memberikan akses sangat mudah bagi kita yang ingin tetap berada di jalan yang lurus. Dari hari senin sampai dengan jumat selalu ada kajian, tidak pernah bolong. Satu-satunya yang membuat sulit mendatangi kajian justru adalah diri kita sendiri. Saya sendiri merasa bahwa Jogja benar-benar memberikan fasilitas yang sangat baik, sehingga kita sendiri harus memilih untuk hidup hedon, hidup bebas, atau hidup penuh dengan ke-tawadhu'-an.

Di samping itu semua, Jogja bukanlah sebuah kota yang hadir tanpa keburukan. Tentunya ada juga sisi negatif dari kota ini, tapi untuk menilai negatif atau justru positif suatu hal tentu saja ini hanya penilaian subjektif dari saya.

Sisi negatif Jogja pertama adalah pembangunan yang --jujur saja-- membuat nuansa tradisional Jogja mulai terkikis, walaupun tidak hilang sepenuhnya karena bangunan-bangunan yang dibangun mostly memberikan arsitektur-arsitektur yang berbau tradisional atau ada unsur budaya di dalamnya. Tetapi, pemerintah Jogja sudah memberikan penjelasan tentang pembangunan ini melalui Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 77 tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel dan juga oleh Pemerintah Sleman melalui Peraturan Bupati (Perbup) Sleman nomor 63 tahun 2015 tentang Moratorium (penghentian sementara) Pendirian Hotel, Apartemen, dan Kondotel di Wilayah Kabupaten Sleman.

Sisi negatif Jogja kedua adalah bercampurnya berbagai kultur di Kota ini. Di kota ini terdapat banyak sekali manusia dari berbagai penjuru, tidak hanya Indonesia melainkan juga mancanegara. Mungkin ketika saya pergi ke coffeeshop, saya menemukan bule-bule sedang merokok sambil main kartu Uno bersama beberapa mahasiswa Jogja. Mungkin ketika saya pergi ke Keraton dan sekitarnya, saya menemukan bule-bule yang sedang membatik sambil tersenyum. Mungkin ketika saya sedang naik motor melewati Jalan Kusumanegara, tiba-tiba bertemu dengan rombongan mahasiswa asal Ambon yang terkenal khas dengan perbuatan rusuh mereka. Dan juga di kampus, ketika saya bertemu berbagai jenis spesies teman-teman saya yang berasal dari berbagai penjuru.

Sisi-sisi negatif lainnya seperti banyaknya Club Malam, Bir yang dijual di berbagai Supermarket secara terbuka, mulai banyak Mall, dan semakin banyak kendaraan, saya rasa itu semua adalah faktor-faktor yang wajar mengingat ini adalah kota yang sudah dikenal oleh banyak orang di dunia. Setiap tempat dimaksudkan untuk menampung orang-orang yang memang asalnya dari kultur yang sangat berbeda. Semua ini yang menjadikan Jogja sebagaimana Jogja yang kita temukan dan kita kenali saat ini.

Terakhir, Selamat Ulang Tahun ke-260 Yogyakarta! Be Good to Me :)

Jumat, 07 Oktober 2016

Selayang Pandang Pendidikan

Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman saya yang tiba-tiba bertanya, "Dhit, quick question! Apa yang pengen banget lo rubah dari Indonesia?". Secara spontan, saya menjawab "Pendidikan". Kemudian percakapan pun berakhir, karena saya harus masuk kelas untuk melaksanakan UTS.

Setelah UTS, saya berpikir. Menarik, karena belakangan ini jarang sekali ada orang yang bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini kepada saya, membicarakan sesuatu yang bersifat makro. Tapi, kenapa saya menjawab pendidikan? Tidak adakah jawaban lain yang lebih spesifik? seperti ingin membangun jalur kereta api yang dapat menghubungkan seluruh pulau-pulau besar di Indonesia, ingin membunuhi kampret-kampret yang kerjaannya hanya mempersulit birokrasi dan menjadikannya pendapatan untuk menafkahi keluarganya di rumah, atau menjadikan Indonesia negeri tanpa pajak.

Setelah saya berpikir, menurut saya, pendidikan adalah jawaban yang sifatnya sangat difensive. Bayangkan saja ketika Anda ditanya oleh seorang dosen tentang suatu hal yang jarang sekali Anda bicarakan dalam kehidupan sehari-hari, tidak familiar dengan kehidupan Anda, tetapi Anda harus menjawab pertanyaan tersebut secara cepat. Maka, kemungkinan besar Anda akan menjawab dengan jawaban-jawaban yang sifatnya general, tidak spesifik. Pendidikan adalah sesuatu yang sifatnya general. Dengan pendidikan, sebenarnya kita bisa membangun SDM yang kelak akan membangun jalur kereta api yang menghubungkan seluruh pulau-pulau besar di Indonesia. Dengan pendidikan pula kita dapat mengubah kempret-kampret perusak yang menyumbat jalur birokrasi tersebut menjadi orang-orang dermawan yang sangat senang mempermudah kehidupan orang lain, atau bahkan kita dapat menjadikan Indonesia negeri tanpa pajak melalui pendidikan yang baik ini.

Suatu hari saya pernah membaca sebuah buku secara sepintas saja. Di buku tersebut, tertulis kalimat dari salah seorang mantan wakil presiden Indonesia, yaitu Pak Boediono. Beliau menyampaikan bahwa intinya jika kita hendak memperbaiki bangsa Indonesia, kita harus memulainya dari pendidikan. Setelah membaca kalimat tersebeut, saya merasa bahwa sebenarnya tidak perlu sosok Pak Boediono untuk mengatakan bahwa bangsa ini harus diubah melalui pendidikan. Karena, bagi saya, tukang becak pun tahu bahwa pendidikan adalah cara untuk mengubah bangsa Indonesia ini. Coba saja Anda tanya ke tukang becak, "Menurut bapak, cara yang baik untuk merubah Indonesia seperti apa ya? Setuju ga pak kalo pendidikan bisa merubah bangsa Indonesia?". Saya yakin 8 dari 10 tukang becak akan menyetujuinya.

Di samping itu, masih ada juga budaya-budaya buruk yang sering terjadi di dunia pendidikan ini. Salah satunya adalah tentang "titip-menitip". Beberapa hari yang lalu saya mendengar berita seorang polisi tewas dengan cara gantung diri di kantornya sendiri, dilansir melalui detik.com bahwa polisi tersebut tewas diduga karena memiliki hutang senilai ratusan juta dikarenakan gagal memasuki anak titipan di salah satu sekolah. Ini hanyalah salah satu kisah yang terpaksa terkuak ke media dikarenakan tokoh utamanya bunuh diri. Sementara itu, di "dalam sana" masih sangat banyak kasus-kasus seperti ini terjadi. Saya sebagai anak yang tumbuh di lingkungan pendidikan tidak jarang mendengar dan melihat kejadian-kejadian semacam ini. Dan saya sepakat bahwa ini adalah salah satu kebobrokan pendidikan Indonesia yang masih belum dapat terselesaikan. Kenapa? Karena kasus titip menitip ini bersifat sangat internal dan hanya diketahui oleh beberapa orang saja, sehingga sulit sekali untuk bisa terkuak.

Tapi, sebagai generasi penerus, kita harus membantu pembangunan bangsa ini. Kita harus membantu Indonesia berubah, setidaknya dengan memperbagus kualitas sumber daya manusia yang ada di dalam diri kita sendiri. Jangan biarkan kalimat Tere Liye "Di negeri ujung tanduk, kehidupan semakin rusak. Bukan karena orang jahat semakin banyak, tetapi karena banyak orang yang memilih untuk tidak peduli lagi." menjadi kenyataan.

Pendidikan adalah soal mendidik dan dididik. Pendidikan adalah sebuah hal yang sederhana tapi implikasinya sangat luas. Mungkin menjadi penjaga warnet adalah hal yang sederhana, tapi apakah memiliki implikasi yang seluas pendidikan? Mungkin menjadi barista adalah pekerjaan yang sederhana, tapi apakah implikasinya sebesar pendidikan? Mungkin menjadi driver gojek adalah pekerjaan sederhana yang memiliki implikasi luas, tapi apakah setara dengan luasnya implikasi pendidikan?

Pendidikan tidak sebatas mengajarkan ilmu dan menerima ilmu. Bayangkan ketika kita duduk di bangku sekolah dulu. Di satu sisi, memang guru menyampaikan ilmu kepada kita terkait dengan materi yang harus disampaikan. Namun di sisi lain, apa yang terjadi ketika Anda tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar? Atau Anda main HP ketika guru sedang mengajar? Atau Anda tertidur ketika guru sedang mengajar? Anda akan mendapatkan teguran, wejangan, atau bahkan omelan dari guru tersebut, kan? Di saat itulah, kita mendapat pendidikan yang lain selain ilmu yang diajarkan. Di saat itu, kita mendapatkan pendidikan tentang bagaimana cara bersikap yang baik, bagaimana kita harus memiliki adab yang baik ketika belajar. Lalu, bayangkan pula ketika Anda mengajar. Di satu sisi, memang Anda menyampaikan ilmu kepada siswa-siswi yang Anda ajarkan. Namun, di sisi lain, coba perhatikan. Mereka tidak hanya menerima apa yang kita ajarkan ke mereka. Sesungguhnya, mereka juga meniru pola pikir kita dalam menyelesaikan masalah, mereka meniru cara berpikir kita, mereka juga meniru bagaimana cara kita dalam menyelesaikan suatu soal, serta meniru bagaimana cara bersikap kita terhadap mereka.

Lantas, bayangkan ketika kebaikan yang pernah Anda sampaikan saat mengajar mengalir terus di benak siswa-siswi Anda hingga mereka tumbuh dan menjadi dewasa, kemudian mereka sampaikan apa yang dulu Anda sampaikan kepada anak-anak mereka dan akan terus diingat oleh mereka hingga mereka juga tumbuh dewasa kelak dan terus manyampaikannya kepada anak cucu mereka. Perhatikan itu, ketika Anda menyampaikan suatu ilmu yang bermanfaat, ilmu tersebut tidak hanya akan berpengaruh pada kehidupan dunia mereka dan kehidupan duniawi Anda. Tapi, kebaikan tersebut akan mengalir bahkan hingga ketika Anda tidak mampu berbuat apa-apa di alam kubur nanti. Ketika pandangan kita gelap, tidak bisa berbuat apa-apa, yang kita lakukan hanyalah berharap mendapat nikmat kubur, di saat itulah ilmu bermanfaat yang pernah kita sampaikan (tentu saja yang berkaitan dengan kebaikan dalam hal agama, bukan solusi cara marketing atau fisika dasar) akan bermanfaat untuk keselamatan kita di alam kubur.

Lihat? Bagaimana pendidikan yang merupakan sebuah hal yang sederhana mampu memiliki implikasi yang sangat luas, baik bagi kualitas sumber daya yang lebih baik, ataupun sebagai penyelamat bagi kita di kehidupan yang akan datang. Mengajar bukan soal medafatar CPNS, menjadi guru, atau menjadi dosen. Banyak cara bagi kita untuk mengajar kebaikan. Kini dunia sudah sangat digital, kita bisa mengajar melalui tulisan-tulisan kita, mengajar melalui vlog misalnya, atau mengajar melalui group whatsapp, ataupun dengan cara-cara lain. Yang terpenting adalah kita harus mengajar, karena mengajar adalah cara cerdas untuk membuat diri kita bermanfaat, untuk menjadi agen perubahan bangsa, dan sebagai investasi bagi kehidupan yang akan datang yang cepat atau lambat pasti akan kita temui.