Kamis, 30 Maret 2017

Mencintaimu Layaknya Sapardi Djoko Damono

Kemarin, saya sempat melihat sekilas salah satu channel televisi yang menayangkan sosok Sapardi Djoko Damono. Beliau merilis 7 buku di usianya yang ke-77. Kehadirannya di televisi tersebut membuat saya mengenang kembali beberapa puisi yang pernah saya baca dan sangat menginspirasi saya. Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin adalah dua dari sekian banyak puisinya yang paling membekas di benak saya. Saya mengenal Hujan Bulan Juni sejak SMP, ketika saya hendak mengikuti Lomba Nasyid dan disitulah untuk pertama kalinya saya mendengarkan seseorang membacakan Puisi Sapardi Djoko Damono tersebut. Beranjak ke SMA, tepatnya di kelas X, untuk pertama kalinya saya mendengar puisi Aku Ingin di Youtube. Impresi pertama kali saya mendengar puisi tersebut sangat membekas berkat untaian kata yang sangat estetik, emosional, dan sekaligus sarat makna. Hingga di sebuah Lomba Pidato yang pernah saya ikuti di akhir kelas XI, saya mengawali pidato saya dengan puisi tersebut, walaupun pada akhirnya saya tidak menang. Di saat itulah saya sempat disinggung oleh teman-teman dan guru saya dengan ucapan, "Lo punya suara pidato,tapi hati lo puitis dhit. Ga cocok ngasih pidato. Baca puisi aja."


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api,
yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan,
yang menjadikannya tiada.

Puisi Aku Ingin adalah sebuah puisi yang sangat membekas di hati saya. Puisi tersebut di satu sisi membuat saya merenungi arti mencintai sesungguhnya, dan di sisi lain membuat saya belajar bahwa mencintai itu jauh melebihi dari sekadar kata-kata di bibir. Kalau kalian searching di Google tentang interpretasi puisi di atas, kalian akan menemukan begitu banyak orang yang mencoba menginterpretasikan puisi tersebut berdasarkan interpretasi mereka masing-masing. Ada yang menganggap puisi tersebut menggambarkan keterlambatan dalam mengungkapkan cinta, ada yang menganggap puisi tersebut menggambarkan mencintai orang lain secara sembunyi-sembunyi, dan lain-lain. Adapun saya, saya memiliki interpretasi yang lebih berbeda lagi dengan dua interpretasi di atas. Menurut saya, interpretasi dari puisi tersebut adalah tentang pengorbanan dalam mencintai.

Cinta pada dasarnya dapat merubah seseorang, termasuk saya. Saya adalah orang yang berubah karena cinta. Puisi ini menarik saya kembali ke masa ketika saya masih menjadi seorang anak SD. Dulu, saya adalah orang yang sangat bandel. Kelas 2 SD saya pernah bertengkar dengan salah satu teman saya hingga memecahkan salah satu jendela kelas. Kelas 3 SD pun saya pernah menangis kencang hingga merepotkan seluruh guru di sekolah saya, termasuk istri dari Kepala Sekolah saya yang turut turun tangan menenangkan saya. Tapi, kemudian saya mulai berubah di akhir kelas 3 SD, tepatnya ketika saya mengalami langsung musibah gempa bumi di Jogjakarta.

Sebelum peristiwa itu berlangsung, saya tidak pernah merasakan sebuah pembuktian cinta yang sesungguhnya. Keluarga saya bukanlah keluarga yang romantis yang kerap kali mengucapkan kalimat-kalimat cinta antara satu dengan yang lain. Rasa cinta kedua orang tua saya kepada saya dan kakak saya lebih mereka tunjukkan lewat larangan, omelan, nasihat-nasihat, dan beberapa pemberian dimana itu semua adalah hal-hal yang seringkali tidak seketika membuat saya aware dengan cinta dari kedua orang tua saya. Peristiwa gempa 2007 itulah yang membuat saya benar-benar menyadari betapa kedua orang tua saya sangat mencintai saya dan juga kakak saya. Saya ingat ketika Ayah saya menarik kaki saya keluar rumah ketika gempa mulai terasa, lalu Ibu saya berteriak-berteriak "Andhika! Adhita! Kesini!" sambil bergenggaman tangan satu sama lain. Saya juga ingat ketika Ayah saya yang saat itu sedang menggonceng saya dan kakak saya di jok belakang sepeda motornya, tetap tenang ketika dihadapkan dengan isu Tsunami yang membuat seluruh pengendara kendaraan bermotor balik arah dan bergerak ke arah timur dengan sangat panik. Ketika orang-orang di sekitar saya menjerit, menangis, teriak, mengucapkan kalimat-kalimat tahmid dan takbir, serta menyebut nama orang-orang yang mereka sayangi, justru pada saat itu Ayah saya tetap tenang sambil menenangkan saya dan kakak saya yang pada saat itu juga hampir menangis. Tidak hanya itu, Ayah saya juga turut membantu menenangkan orang lain di luar sana, mencoba menenangkan dengan logika berpikir sederhana "Ga mungkin Tsunami dari arah Barat! Lautnya di Selatan!". Sederhana memang logikanya, tapi kalau lah kalian tahu bagaimana kondisinya saat itu, semua orang hampir tidak bisa berpikir sehat karena takut akan kematian yang sudah di depan mata. Di saat itulah saya melihat secara langsung sosok Ayah saya yang sangat heroik, menjaga saya dan kakak saya yang sama-sama masih SD saat itu, sekaligus menenangkan orang-orang yang ada di kiri kanan jalan sambil bergerak menuju rumah untuk memastikan Ibu saya baik-baik saja. Di akhir, setelah gempa yang kencang itu selesai, ibu saya duduk di sebelah saya dan kakak saya sambil berbisik, "Kalian udah sholat subuh belum tadi? Tuh, Allah marah loh kalo kita bangun siang terus ga sholat subuh. Mulai besok sholatnya jangan ditinggal ya.". Mulai saat itulah saya benar-benar mulai tidak meninggalkan sholat serta mulai menjadi dewasa, tidak kekanak-kanakan lagi.

Peristiwa-peristiwa semacam itulah yang sebenarnya menunjukkan rasa cinta yang sesungguhnya. Tentang bagaimana kedua orang tua kita walaupun tanpa sempat menyampaikan rasa cintanya kepada kita, mereka selalu menunjukkannya dengan sikap rela berkorban apapun demi kehidupan kita. Mereka rela banting tulang menjalani pekerjaan dan kehidupan yang tentunya tidak akan mulus-mulus saja, hanya demi kita. Mereka persis seperti kalimat "dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api, yang menjadikannya abu" dan kalimat "dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada". Maka, inilah sisi lain dari interpretasi puisi yang senantiasa saya renungi. Bahwa sebenarnya, kita tidak layak untuk mengeluh, membuat kesal, bahkan berani bersikap lancang kepada kedua orang tua kita. Karena bagaimanapun kondisi mereka di tengah carut marut pikiran mereka oleh pekerjaan, atau pengaruh-pengaruh lainnya, pada dasarnya mereka sangat mencintai kita sebagai anak-anaknya.

Adapun sisi lain dari interpretasi puisi ini adalah pembelajaran yang diberikan tentang cinta. Puisi ini mengajarkan tentang bagaimana kita mencintai orang lain dengan penuh ketulusan dan rasa rela berkorban. Maka, pembelajaran ini sangatlah sesuai bagi saya dan kita yang sebagai orang muslim. Karena cinta lah yang mendasari munculnya keramah-tamahan. Cinta lah yang mendasari munculnya sikap husnudzon satu sama lain. Cinta lah yang mendasari munculnya rasa saling tolong menolong dengan penuh keikhlasan. Dengan adanya pembuktian lewat perbuatan-perbuatan tersebut, yakinlah bahwa tidak perlu lagi kita menanyakan rasa cinta mereka kepada kita karena mereka sudah membuktikannya dengan pembuktian yang baik. Termasuk dengan lawan jenis, muslim sejati tidak akan dengan mudahnya mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenis kecuali lewat jalan yang halal, yaitu pernikahan. Maka, bagi kita yang belum mampu untuk menyatakannya lewat jalan yang halal, percayalah, pasti kita akan mengungkapkannya lewat jalan yang haram. Dan itu dilarang. Walaupun keduanya sama-sama suka dan sama-sama rela saling menunggu hingga 10 tahun mendatang. Bagi muslim sejati yang belum mampu menyatakannya lewat jalan yang halal, cukuplah baginya bersabar dan menunjukkan rasa cintanya lewat pengorbanan-pengorbanan, termasuk mengorbankan apabila si lawan jenis kelak dinikahi terlebih dahulu oleh laki-laki lain. Karena jika ia adalah muslim sejati, ia akan sadar bahwa jodohnya tidak akan diambil orang lain.

(kok endingnya jadi galau sih........)

Ditulis oleh Adhita Prananda
Klitren Lor, Yogyakarta
31 Maret 2017

Rabu, 15 Maret 2017

Andai Aku Jalan Kaki? Sebuah Perspektif Tentang Jodoh.

Saya tidak pernah khawatir tentang jodoh. Saya tidak pernah khawatir jika wanita yang saya sukai akan "diambil orang lain". Saya tidak pernah khawatir tentang bagaimanapun kondisi jodoh saya di luar sana. Saya tidak pernah khawatir apakah dia adalah seorang yang solehah seperti yang semua orang dambakan, atau justru sebaliknya, dia malah saat ini sedang suap-suapan sama pacarnya, nonton bareng, pdkt, dan maksiat-maksiat semacamnya. Saya tidak pernah mengkhawatirkan itu semua.

Bagi saya, jodoh adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan dan cepat atau lambat setiap orang akan dipertemukan & disatukan bersama jodohnya masing-masing. Jodoh saya adalah representasi diri saya sendiri. Walaupun terkadang saya masih bingung apakah jodoh saya adalah sosok saya "versi perempuan" atau justru seseorang yang secara personal benar-benar berbeda namun mampu melengkapi saya.

Jodoh itu rumit. Bisa jadi saya pernah dipertemukan dengan jodoh saya. Bisa jadi orang yang sedang saya sukai sekarang adalah jodoh saya. Bisa jadi temennya orang yang sedang saya sukai adalah jodoh saya. Bisa jadi perempuan yang seringkali saya lihat duduk di pojok sana adalah jodoh saya. Bisa jadi jodoh saya sedang membaca tulisan ini. Bisa jadi orang yang saya lihat hari ini sebagai orang yang paling menyebalkan dan menjijikan justru adalah jodoh saya kelak. Menurut saya apapun yang telah dan akan terjadi, keputusan apapun yang telah dan akan saya ambil, tidak akan merubah siapa jodoh saya kelak. Semuanya sudah ditentukan oleh Yang Mahakuasa. Maka, saya tidak pernah setuju dengan perkataan "jodoh dimakan temen", "jodoh diambil orang lain", dan sebagainya. Menurut saya, itu hanya berlaku bagi orang-orang yang di dalam kehidupan ini melakukan aktivitas pacaran.

Pacaran, menurut saya ibarat kita  "mengikat" lawan jenis yang kita sukai agar kelak menikah dengan kita. Kalo ditanya boleh apa ngga, coba kita pikir aja misalnya kita suka sama seseorang tapi orang tersebut udah ditag sama cowok lain, gimana? Padahal bisa jadi ternyata itu jodoh kita. Gaenak kan? Kita cuma dapet "barang sisa". Itu kalau orang yang pacaran serius. Kalau orang yang pacaran tidak serius, itu namanya pacaran main-main. Ya gaada tujuan seriusnya, pokoknya main-main aja buat mengisi waktu luang ga ada kerjaan. Maka, orang yang pacaran main-main itu terlihat sekali bahwa hidupnya menyedihkan. Karena (i) dia adalah the real definition of laki-laki yang kesepian. Saya yakin dia yang pacaran main-main adalah anak yang sehari-hari tidak mendapat perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya, atau kakaknya, atau adiknya, atau keluarga lainnya di rumah. Sedih sekali, bukan? Harusnya orang menyedihkan seperti ini yang dibuat meme di media sosial, bukan justru para jomblo innocent. (ii) Dia adalah orang yang tidak memiliki tujuan hidup alias menganggur. Pacaran membuat seseorang mau tidak mau harus bersikap layaknya suami istri, layaknya seorang pasangan. Mereka harus saling memberikan kabar satu sama lain. Mereka harus bersikap posesif satu sama lain. Oh, ya. Tentu saja. Karena pengertian pacaran serius yang tadi sudah saya tulis adalah: " "mengikat" lawan jenis yang kita sukai agar kelak menikah dengan kita". Bagaimana bisa dibilang mengikat bila tujuannya bukan untuk tidak diambil orang? Bukankah anjing diikat agar tidak pergi ke mana-mana? Agar tidak diambil tetangga?

Berkaitan dengan posesif, saya sejujurnya sangat setuju bahwa setiap pasangan atau dalam hal ini setiap laki-laki (karena sudut pandang saya laki-laki) pasti memiliki sifat posesif terhadap pasangannya. Posesif itu pasti ada. Yang berbeda hanyalah cara setiap orang menyalurkan rasa posesif tersebut. Ada yang terang-terangan, ada pula yang secara tidak langsung dan tanpa disadari telah bersikap posesif. Maka, fitrahnya adalah seorang laki-laki akan cemburu jika perempuan yang disukainya dekat, akrab, selfie bareng, dll dengan laki-laki lain. Lagi-lagi sama seperti posesif tadi. Cemburu itu pasti dirasakan, hanya saja cara menunjukkan kecemburuannya itu berbeda-beda. Bohong bila laki-laki tidak cemburu melihat wanita yang disukainya dekat dengan laki-laki lain, kecuali orang tersebut mati rasa. Lalu, kembali ke kaitan antara pacaran dan orang yang menganggur tadi bahwa bukankah di umur kita sekarang kita seharusnya belajar? Bukankah kita seharusnya berbakti pada orang tua kita? Bukankah yang seharusnya kita telfon setiap malam adalah orang tua kita? Bukankah kita seharusnya fokus belajar? Fokus dalam bekerja? Fokus mencari penghasilan sendiri? Walaupun mencari ibu terbaik bagi anak-anak kita juga penting, tapi apakah pacaran adalah solusi yang justru membuat tugas-tugas kita tersebut menjadi lebih efisien? Kalau jawabannya Ya, berarti ada yang tidak beres dari pengetahuan kita tentang tugas kita dan tujuan hidup kita. Penyebabnya? bisa jadi pergaulan kita salah. Bisa jadi apa yang kita baca salah. Bisa jadi pula kedua orang tua kita yang salah dalam mendidik kita.

Melihat kondisi hari ini ketika anak muda sudah dicekoki dengan istilah-istilah mantan, saya merasa bahwa ini adalah gambaran bahwa anak muda hari ini mengalami krisis tujuan hidup. Apa tujuan hidup Anda? Saya yakin kebanyakan anak muda sekarang memiliki tujuan hidup, seperti: punya rumah minimalis ala IKEA atau sekalian rumah yang mewah, punya kendaraan pribadi yang kece (motor & mobil) ala mini cooper, memiliki penghasilan besar (minimal 2 dijit lah atau minimal mencukupi untuk makan PH tiap minggu, sarapan big breakfastnya McD tiap pagi, nonton bioskop sebulan 3x, jalan-jalan sama keluarga minimal ke Singapur tiap bulan), serta punya pencapaian, prestasi, atau semacamnya yang dapat bisa mendapat pengakuan oleh masyarakat. Ya, begitulah kurang lebih tujuan hidup kita.
Saya jujur kecewa sekaligus prihatin dengan kondisi masyarakat, khususnya anak muda saat ini. Semua yang dikerjakannya siang malam, sampai berlelah-lelah, sampai setiap rasa lelah yang kita rasakan selalu kita upload ke media sosial agar apa? Agar kita bisa mendapat perhatian mereka, disemangati oleh mereka, agar mereka tahu bahwa kita sedang berproses, agar mereka menganggap bahwa kita adalah manusia paling berkorban yang pernah ada di muka bumi ini. Padahal kita lupa dan kita mengesampingkan tujuan egois kita. Kita lupa bahwa kita hanya ingin memenuhi 5 hal yang tidak jauh-jauh dari hierarchy of needs-nya Maslow.

Maka dari itu, kembali soal jodoh, saya sudah menekankan bahwa saya tidak pernah takut dengan istilah-istilah "jodoh yang tertukar" atau "jodoh yang diambil orang". Saya sangat yakin 100% tanpa keraguan sedikitpun bahwa jodoh saya sudah tertulis namanya di Laughul Mahfudz dan cepat atau lambat saya akan dipersatukan dengannya. Kalau bukan di dunia, tentu di akhirat kelak. Pasti dipertemukan. Jika doi yang kita sukai hari ini dinikahi orang lain, it means she doesn't belong to you. End of story. Tambahin sikap husndzon bahwa Allah akan mengganti dengan yang lebih baik darinya. Biar ga galau melulu. Namun, dibalik itu semua, saya justru khawatir jika kelak saya tidak mampu membahagiakan jodoh saya tersebut. Saya justru khawatir jika kelak jodoh saya tidak menemukan sesuatu yang membanggakan dari suaminya. Saya justru khawatir jika kelak saya gagal dalam menjalani fluktuasi suka duka rumah tangga kelak. Saya khawatir jika jodoh saya akan "tersiksa" karena mungkin kelak saya hidup miskin, atau khawatir karena saya tidak bisa membedakan cinta yang sesungguhnya apakah karena harta semata atau memang karena mencintai saya jika mungkin kelak saya hidup kaya raya. Dan yang paling saya khawatirkan dan saya betul-betul akan sedih, bahkan mungkin saya akan menangis, bila melihat jodoh saya terlalu terobsesi pada keindahan dunia, terlalu larut dalam gemerlap dunia. Bukan karena saya kecewa terhadapnya, melainkan saya akan kecewa terhadap diri saya sendiri. Karena jodoh saya bukanlah siapa-siapa, kecuali representasi atau cerminan dari diri saya sendiri.

Come on, Guys. Kalian para calon istri dan para calon suami. Coba berpikir sejenak. Letakkan dulu semua gadget. Matikan lampu. Tutup mata kalian. Coba renungkan apa makna hidup sesungguhnya. Apakah cuma untuk kredit rumah? Apakah cuma untuk kredit mobil? Apakah cuma untuk bekerja mati-matian siang malam untuk menutup bunga hutang kita? Apakah sehina itu dunia yang kita hidupi hari ini? Yang upper class mungkin bisa tersenyum lebar sambil makan waffle di apartemen kalian, tapi tidakkah kalian melihat orang-orang yang berada di tengah-tengah? Mereka yang berada di zona middle up, middle down, bahkan miskin. Kalian lihat betapa mereka banting tulang untuk beli rumah. Menabung bertahun-tahun untuk membiayai resepsi pernikahan. Namun, balik ke pertanyaan apakah hidup sehina ini? Bayangkan temen kalian yang hari ini sudah meninggal. Tetangga kalian. Budhe, Pakdhe, Om, dan keluarga kalian yang sudah tidak ada. Pernahkah kalian berpikir kemana mereka pargi? Pernahkah kalian berpikir bagaimana bila saya yang sedang bediri di kereta sepulang kerja lalu meninggal? Apa yang terjadi? Kemana kita akan pergi? Apa yang kita bawa? Saya hanya ingin menyadarkan kita semua bahwa bukankah yang kita cari selama ini semata-mata tertuju untuk kepentingan pribadi kita sendiri? untuk perut? untuk nafsu dan ketenaran kita sendiri?
Sejujurnya, sejak beberapa postingan terakhir, apa yang saya tulis selalu berisikan renungan renungan yang ada di dalam benak saya. Di balik itu semua, saya sama sekali tidak bermaksud untuk "meng-kafirkan" perbuatan kita. Saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyalahkan perbuatan-perbuatan yang telah kita perbuat. Saya sejujurnya hanya ingin mengajak kita semua merenungi apakah sebenarnya hidup yang kita jalani itu sudah benar? Apakah tujuan hidup kita hanya sebatas memenuhi 5 hal di hierarki Maslow tersebut? Mari kita renungi.

Di samping itu, saya juga mau menekankan bahwa kelak jangan sampai kita menyesal ketika tua nanti. Ketika semua hal sudah terpenuhi, mobil sudah ada, rumah mewah ada 10 biji di 10 negara, anak-anak kita sudah menjadi Doktor dan dokter, lantas apa lagi yang kita cari?? Apakah kita hanya menunggu mati? Bagaimana mau mati jika kita tidak bisa membaca Al Quran? Tidak pernah meluangkan waktu untuk Al Quran? Bagaimana kita bisa membela diri kita sendiri setelah kita mati?

Maka, satu kalimat yang masih tersimpan di dalam benak saya adalah sebuah kalimat pertanyaan yang berasal dari sebuah buku yang pernah saya baca ketika masih kecil. Buku tersebut adalah pemberian dari Ibu saya, dan pertanyaan tersebut berbunyi:

"Andai Aku Jalan Kaki? Masihkah Engkau Ada Untukku?"

- Edi Mulyono

Ditulis oleh Adhita Prananda
di Smart Lounge
Lippo Plaza Jogja

Senin, 13 Maret 2017

Galau

Galau memang. Setelah membaca litaratur sana-sini. Setelah mendengar kajian ustadz ataupun dosen sana-sini. Semuanya berujung pada lelah dan galau. Beberapa pekan yang lalu, tiba-tiba Kakak saya pun mengirimkan beberapa link universitas islam di daerah arab saudi dan sekitarnya yang bisa diakses dengan beasiswa LPDP. Lalu, dalam hati saya berujar: "udah ngerti sekarang gua pengennya yang islam-islam aja?" haha.

Hari ini, saya merasa bahwa saya berada di titik yang paling bebas. Saya berhak menentukan apa saja yang saya inginkan. Saya bebas menentukan mau jadi apa saya di masa yang akan datang. Di dalam pikiran saya pun selalu berputar-putar pertanyaan-pertanyaan ataupun pemikiran-pemikiran, "gimana kalo nanti jadi researcher?", "gimana kalo nanti jadi wirausaha? tapi kayaknya berat banget deh", "gimana kalo nanti kuliah lagi aja terus jadi dosen?", "gimana kalo nanti nulis buku aja terus jadi sutradara film yang berasal dari tulisan saya sendiri?", "gimana kalo jadi manajer perusahaan swasta?", "gimana kalo jadi ustadz?", "apa kerja di PT KAI aja ya since gua suka banget sama kereta", dan lain-lain.

Begitu banyak pertanyaan yang mencuat, saking bebasnya saya untuk memilih. Tapi, sebenarnya mana yang paling terbaik? Lalu, muncul ke dalam benak saya pertanyaan-pertanyaan "apa ya pekerjaan yang kira-kira ga bikin menyesal ketika tua nanti?", "apa ya pekerjaan yang kira-kira bisa sambil belajar agama juga? yang kira-kira bisa nambah pahala, bukan justru memperbesar potensi dosa kayak kuliah di Fakultas Ekonomi begini", "apa ya pekerjaan yang kira-kira ketika pensiun nanti saya masih bisa beraktivitas dan bisa berperan bagi Islam?", dan lain-lain.

Salah satu alasan munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah karena saya seringkali melihat bapak-bapak seperti Ayah saya yang pergi ke masjid setiap waktu sholat, sedangkan membaca Al-Quran saja tidak lancar, pengetahuan agama sedikit bahkan sekadar tentang berapa jumlah sholat rawatib dalam sehari, padahal itu justru pengetahuan mendetil yang diperlukan sehari-hari dan pahalanya pun setara dengan sebuah rumah di surga. Bayangkan Anda membeli rumah di dunia ini harus kredit susah payah mati-matian. Sedangkan Allah memberikannya cuma-cuma hanya dengan syarat Anda sholat rawatib 12 rokaat dalam sehari. Bayangkan.

Itulah yang seringkali membuat saya bergonta-ganti keinginan. Terkadang saya berpikir untuk menjadi A, lalu berubah menjadi B, lalu berubah lagi menjadi C, kebanyakan karena pengaruh eksternal, yaitu dalam hal ini orang-orang di sekitar saya. Yang jelas, apapun yang terjadi nanti. Semoga pada akhirnya saya tidak menjadi bagian dari orang-orang yang menyesal. Apapun itu, baik itu pekerjaan, istri, anak, kesibukan, keluarga, semuanya kelak dapat mengingatkan saya menjaga saya agar tetap berada pada kebaikan, serta membantu saya mencapai surgaNya. Tempat dimana kesuksesan dan keindahan yang hakiki sepenuhnya ada, bahkan jauh lebih indah daripada dunia ini.

Ditulis oleh Adhita Prananda
di Cinemaxx
Lippo Plaza Jogja

Sabtu, 11 Maret 2017

Bagaimana Rasanya, Muawiyah?

wahai Muawiyah..
jika Engkau masih hidup,
ada yang ingin kutanyakan,
bagaimana rasanya menjadi engkau?
engkau bertakwa..
engkau pemimpin yang adil..
engkau sahabat Rasulullah..
Tapi di setiap generasi yang terlahir,
selalu bermunculan orang-orang yang membenci engkau..
selalu bermunculan orang-orang yang menghina engkau..
selalu bermunculan orang-orang yang salah paham tentang engkau..
kebaikan-kebaikanmu banyak yang disembunyikan..
banyak yang dihapuskan..
padahal engkau adalah seorang sahabat yang bertakwa
padahal engkau adalah pemimpin yang adil..
padahal masyarakatmu sangat amatlah mendoakan kebaikan untukmu..
bagaimana rasanya, Muawiyah?
ajari aku..
karena hari ini aku belajar,
bahwa dicap jelek oleh orang yang tidak mengetahuimu itu menyakitkan..
bahwa dihina oleh orang yang tidak mengetahui cerita seutuhnya itu sangat menusuk..
lantas bagaimana rasanya menjadi sepertimu, Muawiyah?
Ditulis oleh Adhita Prananda
di Klitren Lor, Gondokusuman
Yogyakarta

Kamis, 09 Maret 2017

Positioning Umat Islam

Di hari Jumat ini, seiring dengan Raja Salman yang telah berkunjung ke Indonesia, seiring dengan kondisi umat muslim Indonesia yang juga sedang bergejolak setelah adanya kasus penistaan agama oleh seorang oknum, seiring dengan kondisi Indonesia dimana mayoritas penduduknya merupakan muslim, saya tertarik untuk menulis mengenai posisi umat Islam saat ini berdasar pada sabda Rasulullah dan analisis para ulama (yang sejauh ini saya ketahui).

Pertama, mari kita kaji terlebih dahulu sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam:
“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadits 18.430. Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani, Silsilah Al Ahadits Al Shahihah, 1/8; dinilai hasan pula oleh Syaikh Syu’aib Al Arna’uth, dalam Musnad Ahmad bi Hukm Al Arna’uth, Juz 4 no hadits 18.430; dan dinilai shahih oleh Al Hafizh Al ‘Iraqi dalam Mahajjah Al Qurab fi Mahabbah Al ‘Arab, 2/17). 

Hadits tersebut sebelumnya pernah saya baca di salah satu tulisan Ustadz Budi Ashari (seorang lulusan Ilmu Hadits Universitas Islam Madinah) di website ini sekitar 4 tahun yang lalu. Namun, website tersebut telah banyak sekali berubah dan saya tidak lagi dapat menemukan tulisan tersebut. Maka, saya ambil kembali teks tersebut di website ini. Jika di antara pembaca ada yang keberatan dengan website yang saya jadikan rujukan atau tempat mengambil hadits tersebut, tidak masalah dan silakan dicari di buku atau website lain yang menurut pembaca lebih terpercaya. Bagi saya, yang terpenting adalah bunyi/teks haditsnya itu sendiri dan memang hanya itu yang saya ambil dari website tersebut, tanpa adanya sedikitpun tambahan analisis dari website yang sama atau website lainnya.

Sebelum saya mengkaji bunyi/teks hadits tersebut, saya akan mengkaji dulu tingkat kebenaran haditsnya. Perlu diketahui bahwa hadits merupakan ucapan, perbuatan, dan hal-hal lain yang secara langsung berasal dari Rasulullah. Kita tahu bahwa Rasulullah wafat di tahun 11 Hijriyah yang berarti sudah lebih dari 1400 tahun yang lalu. Selama 1400 tahun ke belakang, dari mulai zaman para sahabat yang mendengar atau melihat ucapan dan perbuatan Beliau secara langsung, disampaikan turun temurun hingga sampai kepada kita hari ini. Maka, jelas sekali ada banyak kemungkinan hadits tersebut tidak lagi valid kebenarannya. Karena di sepanjang 1400 tahun tersebut, tentunya ada orang-orang yang dengan sengaja ataupun secara tidak sengaja lupa terhadap bunyi hadits tersebut, atau bahkan memalsukannya. Dan Islam sangat tegas dalam hal ini. Itulah mengapa, dalam Islam sangat penting keterangan siapa yang meriwayatkan hadits tersebut, track record orang yang meriwayatkan hadits tersebut, termasuk siapa ulama yang menyatakan hadits tersebut shahih atau tidak, dan track record-nya. Apabila track record-nya buruk, maka pastilah hadits tersebut diragukan. Begitupun sebaliknya.

Dari sekian banyak prawi hadits dan ulama yang menilai kekuatan hadits di atas, saya menggaris bawahi salah seorang ulama yang merupakan ahli ilmu dan sangat disegani di antara para ulama. Beliau adalah Syeikh Nashiruddin Al Albani, biografi lebih jelasnya dapat pembaca lihat di sini. Beliau adalah rujukan yang (bisa dikatakan) paling terpercaya. Namun, bukan berarti beliau maksum (tidak memiliki kesalahan), karena hanya Rasulullah saja di dunia ini yang maksum. Bagaimanapun, seorang ulama tetap saja memiliki kesalahan termasuk seorang Nashiruddin Al Albani yang rujukannya adalah yang paling dipercayai dan direkomendasikan oleh kebanyakan ulama saat ini. Maka, dalam konteks hadits yang telah saya tulis di atas, di sana tertuliskan "...Hadits ini dinilai hasan oleh Nashiruddin Al Albani..." yang berarti hadits tersebut hasan alias kuat/benar walaupun tingkatannya masih di bawah shahih (sangat terjamin).

Setelah kita mengatahui bahwa hadits tersebut telah dihasankan oleh Syeikh Nashiruddin Al Albani, sekarang mari kita mulai mengkaji. Inti dari hadits tersebut adalah menginformasikan kepada kita bahwa ada 5 fase zaman yang akan berlalu sejak masa kenabian Rasulullah Shalallahu 'Alaihiwasallam. Kelima fase tersebut, terdiri dari: (i) Nubuwwah (Sistem Kenabian), (ii) Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah di atas Sistem Kenabian), (iii) Mulkan 'Aadhdhon (Kerajaan yang Menggigit), (iv) Mulkan Jabariyah (Kerajaan yang Diktator), (v) Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah (Khilafah di atas Sistem Kenabian).

1. Nubuwwah

Fase pertama merupakan saat dimana umat Islam berada di bawah kepemimpinan Rasulullah sebagai manusia utusan Allah. Di masa itulah, umat Islam menganut sistem kenabian atau sistem pemerintahan yang secara langsung dirancang oleh Rasulullah yang juga secara langsung dibimbing oleh Allah. Kemudian di dalam hadits tersebut, Rasulullah mengatakan: "...Kenabian (nubuwwahitu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya...". Jika kita perhatikan, di sana terdapat kalimat "..kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak...". Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa fase ini resmi berakhir ketika Allah mengehendaki Rasulullah wafat pada tahun 11 Hijriyah.

2. Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah

Fase kedua Rasulullah menyebutnya dengan nama "..Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah..", yang artinya Khilafah di atas manhaj Nubuwwah (Sistem Kenabian). Kalimat tersebut secara implisit mendorong kita untuk mengerti bahwa Khilafah yang dibangun pada saat itu merupakan kepemimpinan yang berlandaskan sistem kenabian. Artinya, sistem kenabian pada saat itu sudah kokoh berdiri dan diterapkan oleh umat Islam pada fase tersebut, lalu barulah hadir Khilafah yang menggantikan posisi kepemimpinan umat Islam yang sebelumnya diduduki oleh Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wasallam. Secara bahasa, kata Khilafah berasal dari huruf Kha, Lam, dan Fa memiliki arti "pengganti". Arti kata tersebut saya dapatkan dari ceramah Ustadz Budi Ashari (selaku orang yang mengerti berbahasa arab) dan sumber lain yang dapat pembaca lihat di sini. Maka, penting bagi kita untuk mengetahui arti sebenarnya dari kata Khilafah. Khilafah artinya adalah pengganti, bukan pemimpin. Maka, jelas ketika di fase tersebut, umat Islam seringkali menyebut pemimpinnya dengan sebutan Khilafatu Rasulillah yang artinya Pengganti Rasulullah.

Di hadits yang lain, dalam Musnad Imam Ahmad hadits no. 4029. Rasulullah pernah bersabda:
“Khilafah kenabian itu (bertahan) selama 30 tahun kemudian Allah mendatangkan raja-raja kepada yang dikehendaki.". Setelah mengetahui hadits ini, ada baiknya jika kita menguji kebenarannya agar kita semakin yakin bahwa apa yang diucapkan Rasulullah adalah kebenaran. Bukan sembarang kalimat, melainkan wahyu.

Kita bersama sudah mengetahui bahwa Rasulullah lahir dan wafat di bulan yang sama, yaitu di bulan Rabi'ul Awwal. Maka, jika Rasulullah wafat pada Rabi'ul Awwal tahun 11 Hijriyah, fase kedua ini berakhir (seharusnya) pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 41 Hijriyah. Namun, kenyataan yang terjadi pada saat itu adalah Khalifah terakhir umat Islam, Ali bin Abi Thalib, wafat pada bulan Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Jika kita hitung berdasarkan tahun, sebenarnya sudah terhitung 30 tahun sejak masa awal Khilafah. Namun, jika kita hitung berdasarkan bulan, ternyata masih butuh 6 bulan untuk menggenapkan 30 tahun sekaligus untuk membuktikan bahwa kalimat yang dikatakan Rasulullah adalah kebenaran. Lantas, apa yang terjadi pada Rabi'ul Awwal tahun 41 Hijriyah? Yang terjadi pada saat itu adalah Hasan bin Ali (pemegang kepeminpinan umat Islam sementara) menyerahkan kepemimpinan umat Islam kepada Mu'awiyah r.a. Pada saat itulah masa yang tercatat dalam sejarah Islam dengan sebutan 'Aamul Jama'ah atau Tahun Persatuan. Kenapa disebut Tahun Persatuan? Karena saat itu adalah momen dimana umat Islam bersatu setelah kurang lebih 10 tahun bertikai antar sesama muslimin.


Setidaknya ada dua poin dari kisah ini. Yang pertama, jni membuktikan bahwa kalimat yang diucapkan Rasulullah adalah murni wahyu, bukan sembarang kata-kata. Yang kedua, ini adalah bagian dari sejarah yang akan membingungkan orang-orang Syiah. Kenapa? Karena Syiah mengangung-agungkan Hasan dan meng-kafirkan Muawiyah. Jika memang Muawiyah adalah orang kafir, lantas bagaimana Hasan bin Ali, seorang yang cerdas dan telah dijanjikan sebagai pemimpin para pemuda di Surga, bisa memberikan kekuasaan Islam ke orang kafir? Hanya orang tolol yang akan melakukan hal tersebut. Bahkan kita saja yang hidup saat ini tidak diperbolehkan memilih pemimpin non Islam. Maka, ini adalah pertanyaan yang akan membuat orang-orang Syiah kebingungan.


3. Mulkan 'Aadhdhon

Mulai dari fase ini, Rasulullah tidak lagi menyebutnya dengan kata "Khalifah", melainkan berganti menjadi kata "Mulk" yang artinya Raja. Fase ini dimulai dengan kepemimpinan Muawiyah sebagai Raja umat Islam yang pertama. Walaupun pada kenyataannya umat Islam banyak yang menyebut pimpinannya sebagai Khalifah, itu tidak masalah dan tidak aneh. Kurang lebih sama seperti kita menyebut dosen dengan panggilan guru. Jadi, itu hanya masalah penyebutan saja. Di balik itu, tetap yang benar adalah bagaimana Rasulullah menyebut fase itu dengan kata "Mulk".

Fase ini dimulai sejak awal kepemimpinan Muawiyah dimana selama 20 tahun Muawiyah memimpin umat Islam, itu merupakan masa-masa terbaik ysng oernah dialami umat Islam setelah kurang lebih 10 tahun bertikai. Umat Islam kembali hidup dalam kedamaian, ketentraman, dan kembali berfokus untuk memperkokoh kejayaan dengan melebarkan sayapnya hingga ke seluruh penjuru dunia. Fase yang disebut sebagai Mulkan 'Aadhdhon atau Kerajaan yang Menggigit ini bukan berarti selalu dipimpin oleh para Raja yang zalim. Di dalamnya, banyak juga para Raja yang adil dan sukses memperluas wilayah kekuasaan Islam. Hanya saja, tidak seperti fase sebelumnya yang berakhir dalam waktu 30 tahun, Rasulullah tidak menyebutkan kapan fase ini berakhir atau berapa lama fase ini berlangsung. Namun, jika ditakar berdasarkan kekuasaan umat Muslim pada saat itu, maka dapat dikatakan bahwa fase ke-3 ini resmi berakhir pada tahun 1924 Masehi. Tepatnya, ketika Raja Kemal Pasha yang merupakan seorang Yahudi tulen menjadi pemimpin Turki Utsmani.


Saya ingat betul tentang sosok Mustafa Kemal Pasha ketika saya membacanya di buku sejarah dan buku agama islam di kelas XI SMA lalu. Sejak saat itulah saya merasa ada yang aneh. Di buku sejarah, beliau diagung-agungkan dengan gelar Atta Turk karena telah membawa Turki dari zaman yang tradisional menuju ke era Modernisasi. Sedangkan di buku Agama Islam justru dicaci karena dialah sosok yang menghancurka Turki, lebih tepatnya kerajaan Turki Utsmani yang merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar.


4. Mulkan Jabariyah

Tadi sudah saya tuliskan bahwa fase Kerajaan yang Menggigit resmi berakhir seiring dengan dipegangnya kepemimpinan kerajaan Turki Utsmani di tangan seorang Yahudi, Mustafa Kemal Pasha. Maka, sejak saat itu hingga detik ini, dunia ini dalam segala hal dipimpin oleh aturan Yahudi, baik itu pendidikan, hukum, ekonomi, politik, sosial, dan lainnya.

Pada fase ini, dunia dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang "bertangan besi" atau otoriter. Kita sudah dapat merasakannya sendiri ini terjadi di Indonesia. Walaupun tidak semua masa yang pernah dilewati bangsa ini adalah kelam, tapi kita sempat merasakan bagaimana sosok otoriter memimpin negeri ini, yaitu ketika kita dipimpin oleh Presiden Soeharto. Di saat yang sama, di wilayah bumi yang lain, Suriah dipimpin oleh rezim Syiah Bashar Al Assad yang tidak kalah otoriternya. Hari ini pun kita bisa mendengar betapa pembantaian besar-besaran terjadi di Suriah dilakukan oleh pasukannya. Sedangkan di balik itu semua, dunia ini dikontrol oleh negeri kafir superpower, Amerika Serikat, dan semua negara di seluruh dunia pun banyak yang mengikuti cara kepemimpinan negeri kafir tersebut.


Kenapa otoriter? Kenapa bertangan besi? Di Indonesia dan di berbagai belahan dunia lainnya, demokrasi menjadi sistem kepemimpinan yang diterapkan. Dan Amerika sebagai contoh negara demokrasi sangat senang akan hal itu. Misalnya, ketika Indonesia berhasil menjalankan pemilu dan memilih seorang pemimpin sesuai dengan hasil pemilu, maka Amerika memuji kita atas kedamaian dan keindahan proses demokrasi yang telah kita jalankan. Sedangkan di sisi lain, ketika Palestina yang merupakan negara Islam menuruti kemauan pemimpin dunia hari ini dengan menerapkan pemilu di negaranya. Lalu, Hamas resmi memenangkan pemilu tersebut dengan persentase suara terbanyak. Tapi, kemudian Amerika dengan lancang menolak hasil pemilu tersebut dan menyampaikan bahwa proses demokrasi di Palestina resmi mengangkat kaum teroris sebagai pemenang, maka kami menolaknya.


Memandang fase ini sebaiknya tidak hanya lewat satu sisi. Tapi, kita sebaiknya juga melihat dari kondisi keimanan muslimin hari ini. Maka, kita akan tahu bahwa sebenarnya kita layak untuk jatuh sampai detik ini.


Kondisi umat Islam saat ini, silakan kita tengok ke diri kita masing-masing. Sejak, 1924 lalu hingga hari ini, jika keimanan umat Islam kita ibaratkan sebuah grafik, maka akan kita lihat bahwa grafik keimanan umat Islam ini sangat turun dan berada jauh di bawah. Umat islam hari ini meninggalkan Al Quran, padahal di sepanjang sejarah, umat Islam selalu berhasil ketika dekat dengan Al Quran. Umat Islam hari ini tersilaukan dengan peradaban barat. Padahal kita sudah tahu bahwa sejak dulu, Romawi, merupakan imperium besar. Tapi, sepanjang sejarah umat Islam tidak pernah tersilaukan dengan kemegahan imperiumnya. Rasulullah sendiri pun tidak pernah sekalipun melakukan "studi banding" dengan orang-orang kafir untuk mempelajari bagaimana cara membangun peradaban yang besar seperti peradaban Romawi saat itu. Namun, Rasulullah hanya mengkaji dan mempelajari isi Al Quran dan umat Islam pun berhasil menaklukan imperium-imperium besar tersebut.


Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah apakah hari ini umat Islam grafiknya keimanannya masih rendah? Ya, tapi apakah marak orang-orang membicarakan Khilafah pada 20 tahun yang lalu? Saya ketika berdiskusi dengan Ayah saya, seringkali beliau menceritakan betapa jahiliyahnya kehidupan di era 60-70an. Ketika itu di Indonesia masih dihalalkan berjudi, bahkan ada lotre di tingkat nasional dan di setiap kota atau provinsi pun ada. Ayah saya bercerita tentang bagaimana di hari raya Idul Fitri (Lebaran), bir disuguhkan menjadi salah satu minuman ketika sedang berkumpul bersama keluarga besar. Kelam sekali jika kita lihat bagaimana kondisi umat Islam 20-50 tahun yang lalu. Lalu, sekarang kita sendiri bisa merasakan bagaimana kondisi umat Islam mulai membaik. Mulai banyak yang menyebut-nyebut Mahdi, mulai banyak yang sadar untuk berhijab, mulai banyak yang menyebut-nyebut Khilafah. Lantas, pertanyaannya, kenapa bisa berubah seperti ini? Apa yang telah umat Islam lakukan sehingga banyak orang yang mulai mengenal Islam dan menyebut-nyebut Khilafah? Maka saya berani menjawab: karena sudah tiba masanya.


Maka, keimanan umat Islam saat ini jika digambarkan dengan grafik, sudah mulai menaik dan tidak serendah 20-60 tahun yang lalu. Dengan kata lain, titik terendah umat Islam itu telah dilewati, yang saat ini kita lalui adalah grafik keimanan yang kini mulai naik. Lantas, kenapa naik? Memang ada apa sehingga keimanan umat Islam kini mulai naik? Karena yang ada dihadapan kita saat ini bukanlah kiamat, melainkan Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah.


Dr. Aidh Al Qarny, seorang penulis yang merupakan lulusan ilmu hadits dan sangat handal dalam bidang hadits, pernah diwawancarai terkait pendapatnya tentang orang-orang yang mulai banyak mengaku sebagai Imam Mahdi, termasuk seseorang yang mengambil microfone di Masjidil Haram dan berteriak mengaku dirinya adalah Mahdi. Lalu, beliau menjawab dengan singkat bahwa ini bukan zamannya Mahdi datang. Perhatikan bagaimana orang berilmu menjawab pertanyaan tersebut. Perhatikan. Jika banyak orang yang mengatakan, "dunia ini mulai rusak, banyak perzinahan, danau ini dan itu mulai mengering, di arab mulai ada salju, maka ini adalah pertanda kiamat sebentar lagi akan tiba", maka ia perlu mengkaji ulang hadits tersebut. Memang banyak hadits yang mengatakan berbagai macam tanda hadirnya kiamat, tapi ulama tidak pernah menjadikan satu hadits sebagai satu-satunya rujukan, lalu kemudian menarik kesimpulan berdasarkan satu hadits tersebut. Yang dilakukan ulama adalah mengumpulkan berbagai hadits dari berbagai sumber, lalu menari kesimpulan dari hadits-hadits tersebut. Jadi, jangan hanya karena satu hadits, lalu kita menyimpulkan kiamat akan hadir besok atau lusa. Sejak dulu pun Rasulullah sudah menyampaikan bahwa kiamat itu dekat sambil mengisyaratkan dengan dua jarinya yang ditempel rapat. Jadi, sudah sejak dulu kiamat itu dekat.


Rasulullah menyampaikan salah satu ciri kehadiran kiamat di dalam salah satu hadits,

“Akan berbunuh-bunuhan dekat tempat simpanan Ka’bah tiga abang adik. Semuanya adalah anak-anak  khalifah. Kemudian tidak seorang pun antara mereka yang dapat (harta itu atau menjadi khalifah). Kemudian muncullah Panji-panji Hitam dari sebelah Timur, lalu mereka akan membunuh kamu semua dengan satu pembunuhan (yang paling dahsyat) yang belum pernah dilakukan oleh mana-mana kaum pun.” Kemudian baginda menyebutkan sesuatu yang saya tidak berapa ingat. Kemudian baginda bersabda, “Maka apabila kamu semua melihatnya, hendaklah kamu segera berbaiat kepadanya  walaupun terpaksa merangkak di atas salju kerana di sisinya adalah Khalifah Allah, yaitu Imam Mahdi.” (HR Ibnu Majah)

Setelah membaca hadits tersebut, jawab pertanyaan saya. Siapa Khalifah umat Islam hari ini? Barack Obama? Joko Widodo? Raja Salman? Tidak ada Khalifah Islam hari ini. Maka, yang benar dalam menyikapi positioning umat Islam hari ini adalah bahwa kita memang benar masih berada di fase ke-4 dari 5 fase yang Rasulullah sebutkan. Adapun secara grafik, kita mulai berada di akhir fase ke-4 alias kita mulai meninggalkan fase ke-4 tersebut seiring dengan semakin naiknya grafik keimanan umat Islam dari hari ke hari. Grafik itu akan terus menaik hingga puncaknya hadir menyentuh fase Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah (fase kabangkitan Islam).


Pertanyaan yang layak ditanyakan selanjutnya adalah, apa yang harus kita lakukan dan persiapkan untuk mencapai fase ke-5 tersebut? Yang harus kita lakukan bukanlah bersedih dan mengeluh setiap hari. "Ampun deh, ini hidup kok begini banget", "kok riba merajalela banget sih", "duh, ini negara jijik banget sih banyak banget koruptor", cukup sudah mengeluh dan bersedih hatinya karena itu hanya akan melelahkan diri kita sendiri tanpa menghadirkan solusi. Zaman ini memang sudah rusak dan memang banyak hal yang sudah seringkali dikeluhkan oleh masyarakat. Tapi, di sisi lain, kita harus berhenti mengeluh tanpa menghadirkan solusi. Kita perlu untuk memandang zaman ini dari sudut pandang lain. Kita perlu memandang dengan sedikit optimis bahwa justru dari diri kita sendiri lah akan muncul generasi-generasi anak cucu kita kelak yang mengenal Al Quran dan menerapkan Al Quran dalam kehidupannya.


Islam akan terus membaik, grafik keimanan umat Islam akan terus meningkat, dan kebangkitan Islam cepat atau lambat akan hadir. Maka, apakah kita akan membantu menghadirkannya, berbaris di barisan kebangkitan Islam, atau justru tidak peduli dan memilih untuk hidup dengan sistem peradaban barat, itu semua tidak akan mempengaruhi hadirnya kebangkitan Islam. Dengan kata lain, mau kita peduli atau tidak, mau kita berpartisipasi atau tidak, kebangkitan Islam akan hadir. Kenapa? Karena memang sudah saatnya hadir dan itu sudah dijanjikanl. Sama seperti kenapa tiba-tiba belakangan ini mulai banyak yang membicarakan Khilafah sedangkan tidak ada satupun yang membicarakan Khilafah pada 20-60 tahun yang lalu? Mulai banyak umat Islam yang tergerak hatinya ketika Islam dihina? Karena ini sudah saatnya. Sudah tiba waktunya untuk bangkit. Maka, justru yang menjadi objek pertanyaan bukanlah kebangkitan Islam lagi, melainkan diri  kita sendiri. Apakah kita akan menjadi penonton saja, ataukah kita mau berpartisipasi menghadirkan generasi emas tersebut? Itu semua ada di tangan kita sendiri.


5. Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah

Kalimat yang Rasulullah gunakan untuk menyebut fase ke-5 ini persis dengan apa yang Rasulullah gunakan untuk menyebut fase ke-2. Sedangkan kita tahu sendiri bahwa fase ke-2 merupakan era dimana Islam dipimpin oleh para Khalifah sekelas Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Di era tersebut pun masih banyak sahabat-sahabat lain yang tidak kalah hebat yang masih hidup. Mereka semua adalah hasil didikan Rasulullah secara langsung. Maka, ketika Rasulullah menyebut fase ke-5 ini dengan sebutan yang persis dengan fase ke-2 lalu, seharusnya kualitasnya umat Islam pun sama seperti di era Khilafah tersebut.

Lantas, bagaimana tentang konsep Khilafah yang benar untuk fase ke-5 ini? Apakah kelompok-kelompok Islam yang ada di luar sana dan mengaku telah mengangkat Khalifah itu benar?

Untuk menjawab ini, sebenarnya dari kalimat Rasulullah saja kita sudah bisa menjawab apakah yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal tersebut benar atau tidak. Rasulullah menyebut fase ini persis dengan fase ke-2 lalu, Khilafah 'Ala Minhajin Nubuwwah. Artinya, sebelum memunculkan Khalifah, ada satu tugas yang harus dilakukan umat Islam, yaitu menerapkan Minhaj Nubuwwah alias sistem Nubuwwah. Dan sistem Nubuwwah tidak akan bisa diterapkan jika kita masih berpegang teguh dengan konsep-konsep Yahudi, Nasrani, atau konsep lainnya selain konsep Islam.

Gunakan logika sederhana saja. Bagaimana mungkin kita dapat pergi ke Roma misalnya jika kendaraan yang kita gunakan malah membawa kita menuju Swedia? Untuk pergi ke Roma, kita tentunya harus menggunakan kendaraan yang mampu membawa kita ke Roma. Maka, bagaimana bisa kita mencapai kebangkitan Islam jika sistem yang kita gunakan bukan sistem Nubuwwah (sistem kenabian) yang mampu mengantarkan kita ke fase 5?

Yang dimaksud sistem nubuwwah adalah sistem atau aturan dalam menjalani kehidupan yang didasarkan pada Al Quran dan hadits. Sufah dijelaskan bahwa fase pertama, Nubuwwah, artinya fase dimana Islam berjalan berdasarkan sistem yang diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad. Maka, sistem Nubuwwah adalah sama, yaitu sistem yang bergerak berdasarkan apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Lantas, bagaimana kita dapat menjalankan sistem yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad? Jawabannya, yaitu dengan mempelajari kembali Al Quran dan Hadits, karena Rasulullah tidak mewariskan kepada kita apapun kecuali Al Quran dan Hadits.

Lalu, apakah kita harus mengasingkan diri? Membuat kelompok sendiri dan menjauh dari masyarakat sebagaimana yang dulu Rasulullah lakukan dengan melakukan hijrah ke Madinah. Jawabannya tidak. Dulu Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah dengan banyak pertimbangan besar. Diantaranya karena terdapat siksaan yang terus menerus dilancarkan ke umat Islam dan hal-hal negatif lainnya yang dilakukan penduduk Makkah kepada umat Islam. Postingan ini tidak akan membahas hal itu karena itu layak untuk dijadikan pembahasan tersendiri. Namun, bila saat ini kita memutuskan untuk hidup damai dengan cara mengucilkan diri menjauh dari masyarakat, itu sama saja kita melanggar sabda Rasulullah:


Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka” (HR. At Tirmidzi 2507, Al Bukhari dalam Adabul Mufrad 388, Ahmad 5/365, syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan hadits ini shahih dalam Mafatihul Fiqh 44).

Di fase inilah umat Islam mencapai kejayaannya setelah sekian lama bumi ini rusak dibawah kepemimpinan orang-orang kafir. Setelah itu barulah umat Islam kelak perlahan mulai jatuh lagi. Salah satu ciri jatuhnya umat Islam ditandai dengan adanya pertikaian 3 orang anak Khalifah yang berebut harta, seperti hadits yang sudah saya tuliskan di atas. Di saat itulah, akan datang yang biasa kita dengar dengan nama Dajjal, dan Mahdi juga akan hadir sebagai pemimpin umat Islam. Barulah saat itu, kiamat akan terjadi.

Kesimpulan

Melalui tulisan ini, saya ingin menggambarkan dimana posisi umat Islam saat ini, apa yang telah umat Islam lewati, dan apa yang ada di hadapan umat Islam hari ini. Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk tidak terlalu tersilaukan dengan berbagai gemerlap dunia dan segala kebesaran imperium barat hari ini. Karena dalam sejarah, Romawi memang selalu digambarkan dengan sebuah imperium besar. Tapi, Islam dengan kesederhanaannya selalu mampu menaklukkan Romawi, bahkan oleh pasukan yang dipimpin oleh seorang anak berusia 18 tahun, Usamah bin Zaid.

Ucapan Rasulullah melalui hadits ini sudah cukup untuk membuktikan bahwa lisan Beliau adalah wahyu yang telah terbukti sebegitu detilnya di fase-fase sebelumnya. Maka, apa yang terjadi ke depan tidak akan lepas dari apa yang telah dikatakan beliau di hadits ini. Ke depan, Islam akan terus membaik hingga mencapai puncaknya di fase ke-5. Apakah kita akan turun membantu menghadirkan fase ke-5 itu atau justru hanya duduk sebagai penonton, fase itu akan tetap hadir. Tapi, sekali lagi, tidak ada satupun orang yang memilih untuk diam saja sedangkan ia mampu berbuat, kecuali orang tolol.


Maka, mari kita ubah persepsi kita tentang Islam hari ini. Pandangan buruk kita tentang "diri kita sendiri", tentang Islam yang ada di sanubari kita, adalah pandangan yang terbangun melalui stigma-stigma negatif yang dilancarkan orang-orang kafir. Mereka yang memimpin bumi hari ini dengan cara yang mereka kehendaki, dengan cara "terserah" mereka. Maka, tuduhan-tuduhan teroris yang disasarkan ke umat Islam pun adalah bagian dari "ke-terserah-an" mereka dalam memimpin bumi ini.


Jika di antara pembaca ada yang pernah merenungi apa makna hidup sesungguhnya, apakah memang hidup itu menyuruh kita untuk bergerak berlarian berdesak-desakan setiap harinya hanya untuk mencari uang? apakah hidup menyuh kita untuk kuliah hingga mendapatkan gelar Ph. D di Eropa atau Amerika? apakah hidup menyuruh kita untuk tertekan karena khawatir tidak diterima di perusahaan ternama? apakah hidup menyuruh kita untuk berusaha mati-matian menjalankan perusahaan demi uang? apakah hidup hanya sebatas untuk uang? uang yang kita dapatkan dengan bekerja seharian dan kita tabung berhari-hari untuk berlibur dan merealisasikan nafsu hiburan kita? apakah hidup hanya sebatas dan sesempit itu? Renungkanlah. Tanyakan kepada zat yang menciptakan kita. Apa makna kita diciptakan?


Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan bahwa tugas kita sesungguhnya adalah menjalani apa yang diperintahkan pencipta kita. Termasuk ketika pencipta kita meminta kita untuk berlaku baik terhadap bumi ciptaaNya. Maka, Islam sebagai agama yang Allah bimbing dan Allah ridhoi, melalui orang-orang yang beruntung berada di agama ini, sudah saatnya untuk kembali mengambil alih bumi ini dari tangan orang-orang yang merusak. Sudah saatnya bumi ini kembali diambil alih oleh orang-orang yang berada di bawah bimbinganNya, yang taat menjalankan perintahNya, yang mengerti apa sebenarnya peran dan kewajiban manusia hidup di muka bumi ini, dan memahami bahwa bumi ini hanyalah tempat singgah sementara sedangkan setiap apa yang kita lakukan apakah itu ikut-ikutan, apakah kita mengetahui halal-haramnya ataupun tidak, akan tetap ditanyakan dan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang selama ini sebenarnya diamanahkan kepada kita. Pikirkan sebelum terlambat.




***

Ditulis oleh Adhita Prananda
di Perpustakaan FEB UGM dan Klitren Lor
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kamis, 02 Maret 2017

Pernahkah?

Pernahkah kita berpikir kenapa kita terlahir?
Pernahkah kita berpikir untuk apa kita hidup?
Pernahkah kita berpikir kenapa kita hidup di tengah-tengah keluarga kita masing-masing?
Hidup di tengah-tengah keluarga yang miskin misalnya?
Atau hidup di tengah keluarga yang kaya raya?
Atau hidup tanpa ada keluarga yang tersisa?
Menyendiri, berjuang seorang diri?
Pernahkah kita berpikir kenapa kita berada di tempat dimana saat ini kita berdiri?
Pernahkah kita berpikir kenapa kita memilih berada di tempat ini?
Pernahkah kita berpikir untuk apa kita menjalani semua ini?
Menjalani aktivitas yang melelahkan diri kita sendiri?
Menjalani aktivitas yang seringkali kita keluhkan sendiri?
Menjalani aktivitas yang kita sendiri ragu apa manfaatnya?
Menjalani aktivitas yang kita sendiri ragu untuk siapa?
Apa yang kita cari dengan berlelah-lelah bekerja di pagi hingga malam hari?
Apakah keberkahan? Apakah harta? Apakah ilmu? Apakah ketenangan?
Lantas apa yang kita lakukan setelah ini?
Pernahkah kita melihat orang-orang satu per satu meninggalkan kita?
Pernahkah kita mendengar orang-orang yang satu per satu meninggal, katanya?
Pernahkah kita berpikir ke mana perginya mereka?
Pernahkah kita berpikir kenapa mereka pergi meninggalkan dunia?
Pernahkah kita berpikir apa yang sedang mereka rasakan di sana?
Apakah setelah semua ini, yang kita rasakan hanyalah gelap gulita?
Apakah setelah semua yang kita kerjakan, pada akhirnya hanya gelap gulita?
Lantas, apakah benar kata orang-orang?
Mereka yang berkata bahwa masih ada kehidupan lain setelah semua ini?
Lantas, benarkah kata orang yang berkata bahwa ada yang namanya Surga dan Neraka?
Lantas, benarkah kata orang yang berkata bahwa ada yang namanya Siksa dan Nikmat kubur?
Pernahkah kita mendengar itu semua?
Lalu, siapa yang berkehendak atas ini semua?
Apakah benar surga itu indah?
Mengalir sungai-sungai, dituruti semua keinginan kita...
Apakah benar neraka itu penuh siksa?
Hingga siksa yang paling ringan saja membuat otak kita mendidih..
Apakah itu semua benar? Atau hanya dongeng semata?



Terkadang kita terlaluh jauh berjalan..
Dan lupa merenungi apa yang sebenarnya kita jalani..
Lupa merenungi apa yang sebenarnya kita kejar..
Hingga kita melakukan segalanya..
Hingga kita rela melakukan apapun untuk mendapatkannya..
dan kita lupa untuk menjawab, apakah sebenarnya itu berguna?