Sabtu, 08 Oktober 2016

2 Tahun di Yogyakarta

Yogyakarta, kota yang tidak pernah lepas dari kehidupan saya. Sejak saya kecil, pengalaman mudik tiap tahun menjadi saksi kenangan saya bersama kota ini. Begitu pula ketika saya dewasa, entah mengapa, Tuhan telah menakdirkan saya untuk tinggal, menetap, dan berkarya di Kota Pelajar dan Kebudayaan ini.

Ada orang bijak yang berkata, "Remember why you started". Sebuah kalimat yang sangat mainstream dan selalu dijadikan alat oleh teman-teman saya untuk memotivasi saya ketika saya sedang tidak mood berkuliah, lack motivation dalam menjalani kehidupan, sampai ketika saya sedang kangen keluarga di Depok. Tapi, memang kenyataannya kalimat tersebut sangat kaya akan makna. Apalagi bagi saya, seorang anak rantau dari Ibukota yang memiliki kisah sangat menarik dibalik kenapa memilih dan sampai saat ini bisa berada di tanah Yogyakarta.

Semua berawal dari mimpi
Sejak kecil saya sudah mencintai kota ini. Kota yang menyuguhkan nuansa yang sangat berbeda di tiap sudut-sudutnya. Kota yang menyuguhkan keindahan pariwisata yang beraneka-ragam, pantai, pegunungan, sungai, goa, karst, candi, keindahan bawah laut, hingga keindahan nuansa budaya di tiap sudut-sudut kota ini. Selain itu juga didukung oleh keramahan masyarakatnya, polusi yang jauh lebih rendah jika dibandingkan Jakarta, jalan raya yang lebih halus dan lebih unik, fasilitas umum yang memadai dan juga kece, serta biaya hidup yang sangat murah. Ini semua yang kemudian mendasari saya untuk bermimpi bisa berkuliah di Yogyakarta.

Kelas XII SMA adalah masa-masa yang penuh dengan kejutan, khususnya dalam hal SNMPTN dan SBMPTN. Dua tahun yang lalu, saya ingat betul ketika saya memilih Bisnis Islam FEB UI dan Ilmu Ekonomi Islam FEB UI. Saat itu yang ada di benak saya hanyalah kuliah di UI agar tidak jauh dari rumah dan mengambil jurusan-jurusan dengan passing grade terendah di Fakultas yang terbaik.  Saya benar-benar hanya mengincar sesuatu yang sifatnya medioker (kalo kata Ahong). Saya tidak terpikirkan apa yang akan menjadi pilihan pertama saya, karena menurut saya apapun pilihan saya tersebut saya hanya memungkinkan untuk meraih pilihan ke-2 atau ke-3. Di samping itu, saya berencana untuk mengambil jurusan Manajemen di Universitas Brawijaya Malang. Kenapa? Karena saya pikir, Malang memiliki letak geografis yang sangat bagus. Dekat dengan pegunungan, dingin, dan mungkin saya bisa kuliah sambil menggembala domba di sana.

Kemudian nama UGM baru muncul di benak saya ketika saya liburan bersama rekan saya Ivan Haddar ke Jogja selepas Ujian Nasional, tapatnya ketika Smansa sedang mengadakan Aksi. Di Jogja, saya dan Haddar sempat bermain ke Sunmor (Sunday Morning) UGM dan saya kebetulan lewat Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Di saat itulah terlintas dalam benak saya, "wah, bagus juga nih kampus.". Kemudian saya langsung mem-foto Pertamina Tower dan mem-posting di Instagram, di saat itulah saya mulai berpikir serius untuk meletakkan FEB UGM di pilihan pertama SBMPTN kelak. Kenapa? Karena saya bermimpi atau punya cita-cita untuk bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi mahasiswa di sebuah kota pariwisata yang syarat akan budaya, berada di tengah-tengah keramanahan masyarakat Jogja, dan bisa pulang-pergi ke Depok naik kereta.

Itu adalah cerita di balik alasan saya memilih kuliah di Jogja. Mungkin kisah spesifik tentang SBMPTN akan saya tulis kemudian, karena apa yang saya ceritakan di sini masih sangat tidak detil dan masih banyak sekali kejadian memorable yang belum diceritakan.

2 Tahun di Jogja
Setelah dua tahun tinggal di Jogja, saya semakin yakin untuk berkata bahwa Jogja itu bukan sekadar sebuah kota, Jogja bukan sekadar sebuah tempat wisata. Jogja adalah sebuah nuansa. Nuansa yang penuh dengan kedamaian serta mampu menenangkan hati dan pikiran. Nuansa inilah yang membuat saya ataupun banyak orang diluar sana seringkali rindu untuk bisa kembali pulang ke kota ini.

Entah mengapa, ketika di Jogja, ngebut dalam berkendara itu benar-benar akan merasa rugi. Kenapa? Karena, sudut-sudut kota Jogja terlalu indah untuk dilewatkan. Cukuplah Anda naik motor kemudian berputar-putar menyusuri Kota ini di pagi atau malam hari (karena kalo siang panas), cukup bisa merelaksasikan pikiran Anda.

Kota ini benar-benar memfasilitasi liburan kita dengan sangat baik. Kita bebas memilih mau ke pegunungan di utara dan barat, atau ke laut di selatan, atau ke candi-candi di timur, ataupun hanya berwisata di tempat-tempat wisata di dalam kota Jogja itu sendiri. Saya sendiri mengalami betul ketika sedang lelah kuliah dan butuh relaksasi, saya cukup berkendara 30 menit ke utara atau 45 menit ke selatan, atau cukup ke warnet terdekat dan numpang mengambil beberapa film sudah, ini semua sudah menjadi wahana relaksasi yang sangat menyenangkan.

Selain itu, kota ini juga memfasilitasi mahasiswa dengan sangat baik. Ada banyak sekali kampus di kota ini dan seiring dengan hal tersebut banyak juga tempat-tempat kongkow yang sangat nyaman untuk makan sambil berbincang-bincang, atau ngopi sambil nugas, dan lain-lain. Kota ini juga memberikan akses sangat mudah bagi kita yang ingin tetap berada di jalan yang lurus. Dari hari senin sampai dengan jumat selalu ada kajian, tidak pernah bolong. Satu-satunya yang membuat sulit mendatangi kajian justru adalah diri kita sendiri. Saya sendiri merasa bahwa Jogja benar-benar memberikan fasilitas yang sangat baik, sehingga kita sendiri harus memilih untuk hidup hedon, hidup bebas, atau hidup penuh dengan ke-tawadhu'-an.

Di samping itu semua, Jogja bukanlah sebuah kota yang hadir tanpa keburukan. Tentunya ada juga sisi negatif dari kota ini, tapi untuk menilai negatif atau justru positif suatu hal tentu saja ini hanya penilaian subjektif dari saya.

Sisi negatif Jogja pertama adalah pembangunan yang --jujur saja-- membuat nuansa tradisional Jogja mulai terkikis, walaupun tidak hilang sepenuhnya karena bangunan-bangunan yang dibangun mostly memberikan arsitektur-arsitektur yang berbau tradisional atau ada unsur budaya di dalamnya. Tetapi, pemerintah Jogja sudah memberikan penjelasan tentang pembangunan ini melalui Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 77 tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel dan juga oleh Pemerintah Sleman melalui Peraturan Bupati (Perbup) Sleman nomor 63 tahun 2015 tentang Moratorium (penghentian sementara) Pendirian Hotel, Apartemen, dan Kondotel di Wilayah Kabupaten Sleman.

Sisi negatif Jogja kedua adalah bercampurnya berbagai kultur di Kota ini. Di kota ini terdapat banyak sekali manusia dari berbagai penjuru, tidak hanya Indonesia melainkan juga mancanegara. Mungkin ketika saya pergi ke coffeeshop, saya menemukan bule-bule sedang merokok sambil main kartu Uno bersama beberapa mahasiswa Jogja. Mungkin ketika saya pergi ke Keraton dan sekitarnya, saya menemukan bule-bule yang sedang membatik sambil tersenyum. Mungkin ketika saya sedang naik motor melewati Jalan Kusumanegara, tiba-tiba bertemu dengan rombongan mahasiswa asal Ambon yang terkenal khas dengan perbuatan rusuh mereka. Dan juga di kampus, ketika saya bertemu berbagai jenis spesies teman-teman saya yang berasal dari berbagai penjuru.

Sisi-sisi negatif lainnya seperti banyaknya Club Malam, Bir yang dijual di berbagai Supermarket secara terbuka, mulai banyak Mall, dan semakin banyak kendaraan, saya rasa itu semua adalah faktor-faktor yang wajar mengingat ini adalah kota yang sudah dikenal oleh banyak orang di dunia. Setiap tempat dimaksudkan untuk menampung orang-orang yang memang asalnya dari kultur yang sangat berbeda. Semua ini yang menjadikan Jogja sebagaimana Jogja yang kita temukan dan kita kenali saat ini.

Terakhir, Selamat Ulang Tahun ke-260 Yogyakarta! Be Good to Me :)

Jumat, 07 Oktober 2016

Selayang Pandang Pendidikan

Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman saya yang tiba-tiba bertanya, "Dhit, quick question! Apa yang pengen banget lo rubah dari Indonesia?". Secara spontan, saya menjawab "Pendidikan". Kemudian percakapan pun berakhir, karena saya harus masuk kelas untuk melaksanakan UTS.

Setelah UTS, saya berpikir. Menarik, karena belakangan ini jarang sekali ada orang yang bertanya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini kepada saya, membicarakan sesuatu yang bersifat makro. Tapi, kenapa saya menjawab pendidikan? Tidak adakah jawaban lain yang lebih spesifik? seperti ingin membangun jalur kereta api yang dapat menghubungkan seluruh pulau-pulau besar di Indonesia, ingin membunuhi kampret-kampret yang kerjaannya hanya mempersulit birokrasi dan menjadikannya pendapatan untuk menafkahi keluarganya di rumah, atau menjadikan Indonesia negeri tanpa pajak.

Setelah saya berpikir, menurut saya, pendidikan adalah jawaban yang sifatnya sangat difensive. Bayangkan saja ketika Anda ditanya oleh seorang dosen tentang suatu hal yang jarang sekali Anda bicarakan dalam kehidupan sehari-hari, tidak familiar dengan kehidupan Anda, tetapi Anda harus menjawab pertanyaan tersebut secara cepat. Maka, kemungkinan besar Anda akan menjawab dengan jawaban-jawaban yang sifatnya general, tidak spesifik. Pendidikan adalah sesuatu yang sifatnya general. Dengan pendidikan, sebenarnya kita bisa membangun SDM yang kelak akan membangun jalur kereta api yang menghubungkan seluruh pulau-pulau besar di Indonesia. Dengan pendidikan pula kita dapat mengubah kempret-kampret perusak yang menyumbat jalur birokrasi tersebut menjadi orang-orang dermawan yang sangat senang mempermudah kehidupan orang lain, atau bahkan kita dapat menjadikan Indonesia negeri tanpa pajak melalui pendidikan yang baik ini.

Suatu hari saya pernah membaca sebuah buku secara sepintas saja. Di buku tersebut, tertulis kalimat dari salah seorang mantan wakil presiden Indonesia, yaitu Pak Boediono. Beliau menyampaikan bahwa intinya jika kita hendak memperbaiki bangsa Indonesia, kita harus memulainya dari pendidikan. Setelah membaca kalimat tersebeut, saya merasa bahwa sebenarnya tidak perlu sosok Pak Boediono untuk mengatakan bahwa bangsa ini harus diubah melalui pendidikan. Karena, bagi saya, tukang becak pun tahu bahwa pendidikan adalah cara untuk mengubah bangsa Indonesia ini. Coba saja Anda tanya ke tukang becak, "Menurut bapak, cara yang baik untuk merubah Indonesia seperti apa ya? Setuju ga pak kalo pendidikan bisa merubah bangsa Indonesia?". Saya yakin 8 dari 10 tukang becak akan menyetujuinya.

Di samping itu, masih ada juga budaya-budaya buruk yang sering terjadi di dunia pendidikan ini. Salah satunya adalah tentang "titip-menitip". Beberapa hari yang lalu saya mendengar berita seorang polisi tewas dengan cara gantung diri di kantornya sendiri, dilansir melalui detik.com bahwa polisi tersebut tewas diduga karena memiliki hutang senilai ratusan juta dikarenakan gagal memasuki anak titipan di salah satu sekolah. Ini hanyalah salah satu kisah yang terpaksa terkuak ke media dikarenakan tokoh utamanya bunuh diri. Sementara itu, di "dalam sana" masih sangat banyak kasus-kasus seperti ini terjadi. Saya sebagai anak yang tumbuh di lingkungan pendidikan tidak jarang mendengar dan melihat kejadian-kejadian semacam ini. Dan saya sepakat bahwa ini adalah salah satu kebobrokan pendidikan Indonesia yang masih belum dapat terselesaikan. Kenapa? Karena kasus titip menitip ini bersifat sangat internal dan hanya diketahui oleh beberapa orang saja, sehingga sulit sekali untuk bisa terkuak.

Tapi, sebagai generasi penerus, kita harus membantu pembangunan bangsa ini. Kita harus membantu Indonesia berubah, setidaknya dengan memperbagus kualitas sumber daya manusia yang ada di dalam diri kita sendiri. Jangan biarkan kalimat Tere Liye "Di negeri ujung tanduk, kehidupan semakin rusak. Bukan karena orang jahat semakin banyak, tetapi karena banyak orang yang memilih untuk tidak peduli lagi." menjadi kenyataan.

Pendidikan adalah soal mendidik dan dididik. Pendidikan adalah sebuah hal yang sederhana tapi implikasinya sangat luas. Mungkin menjadi penjaga warnet adalah hal yang sederhana, tapi apakah memiliki implikasi yang seluas pendidikan? Mungkin menjadi barista adalah pekerjaan yang sederhana, tapi apakah implikasinya sebesar pendidikan? Mungkin menjadi driver gojek adalah pekerjaan sederhana yang memiliki implikasi luas, tapi apakah setara dengan luasnya implikasi pendidikan?

Pendidikan tidak sebatas mengajarkan ilmu dan menerima ilmu. Bayangkan ketika kita duduk di bangku sekolah dulu. Di satu sisi, memang guru menyampaikan ilmu kepada kita terkait dengan materi yang harus disampaikan. Namun di sisi lain, apa yang terjadi ketika Anda tidak memperhatikan guru yang sedang mengajar? Atau Anda main HP ketika guru sedang mengajar? Atau Anda tertidur ketika guru sedang mengajar? Anda akan mendapatkan teguran, wejangan, atau bahkan omelan dari guru tersebut, kan? Di saat itulah, kita mendapat pendidikan yang lain selain ilmu yang diajarkan. Di saat itu, kita mendapatkan pendidikan tentang bagaimana cara bersikap yang baik, bagaimana kita harus memiliki adab yang baik ketika belajar. Lalu, bayangkan pula ketika Anda mengajar. Di satu sisi, memang Anda menyampaikan ilmu kepada siswa-siswi yang Anda ajarkan. Namun, di sisi lain, coba perhatikan. Mereka tidak hanya menerima apa yang kita ajarkan ke mereka. Sesungguhnya, mereka juga meniru pola pikir kita dalam menyelesaikan masalah, mereka meniru cara berpikir kita, mereka juga meniru bagaimana cara kita dalam menyelesaikan suatu soal, serta meniru bagaimana cara bersikap kita terhadap mereka.

Lantas, bayangkan ketika kebaikan yang pernah Anda sampaikan saat mengajar mengalir terus di benak siswa-siswi Anda hingga mereka tumbuh dan menjadi dewasa, kemudian mereka sampaikan apa yang dulu Anda sampaikan kepada anak-anak mereka dan akan terus diingat oleh mereka hingga mereka juga tumbuh dewasa kelak dan terus manyampaikannya kepada anak cucu mereka. Perhatikan itu, ketika Anda menyampaikan suatu ilmu yang bermanfaat, ilmu tersebut tidak hanya akan berpengaruh pada kehidupan dunia mereka dan kehidupan duniawi Anda. Tapi, kebaikan tersebut akan mengalir bahkan hingga ketika Anda tidak mampu berbuat apa-apa di alam kubur nanti. Ketika pandangan kita gelap, tidak bisa berbuat apa-apa, yang kita lakukan hanyalah berharap mendapat nikmat kubur, di saat itulah ilmu bermanfaat yang pernah kita sampaikan (tentu saja yang berkaitan dengan kebaikan dalam hal agama, bukan solusi cara marketing atau fisika dasar) akan bermanfaat untuk keselamatan kita di alam kubur.

Lihat? Bagaimana pendidikan yang merupakan sebuah hal yang sederhana mampu memiliki implikasi yang sangat luas, baik bagi kualitas sumber daya yang lebih baik, ataupun sebagai penyelamat bagi kita di kehidupan yang akan datang. Mengajar bukan soal medafatar CPNS, menjadi guru, atau menjadi dosen. Banyak cara bagi kita untuk mengajar kebaikan. Kini dunia sudah sangat digital, kita bisa mengajar melalui tulisan-tulisan kita, mengajar melalui vlog misalnya, atau mengajar melalui group whatsapp, ataupun dengan cara-cara lain. Yang terpenting adalah kita harus mengajar, karena mengajar adalah cara cerdas untuk membuat diri kita bermanfaat, untuk menjadi agen perubahan bangsa, dan sebagai investasi bagi kehidupan yang akan datang yang cepat atau lambat pasti akan kita temui. 

Jumat, 19 Agustus 2016

My Mama Was Saying..

Ibu saya pernah berkata, "Jadi laki-laki itu harus komplit: harus cerdas, jago olahraga, pinter agama, dan bisa main musik."

Saya sangat ingat, saat itu satu komplek rumah saya sedang mati listrik. Dan itu adalah hal yang biasa terjadi ketika saya SD. Ketika mati listrik itulah biasanya saya duduk bersama ayah, ibu, dan kakak saya. Kami mendengarkan Ayah saya bermain gitar, menyanyikan lagu-lagu Ebiet G Ade dan mendengarkan Ibu saya bercerita dan sesekali memberikan nasihat. Suatu ketika, ketika Ayah saya sedang bermain gitar, Ibu saya menatap Ayah saya dan berkata ke saya, "Jadi laki-laki itu harus komplit: harus cerdas, jago olahraga, pinter agama, dan bisa main musik."

Ketika saya beranjak dewasa, saya masih sangat mengingat perkataan Ibu saya tersebut. Kalimat tersebutlah yang menjadi pertimbangan saya dalam melangkah. Kalimat tersebutlah yang membuat saya memilih untuk mengikuti ekskul KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) ketika awal SMP, lalu ikut ROHIS (Rohani Islam) juga ketika awal SMP, dan saya sempat bisa bermain gitar ketika kelas 5 SD sampai SMP kelas 2 sebelum akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi bermain gitar.

Oke mari kita bahas secara lebih rinci ucapan Ibu saya tersebut. Di dalam ucapan Ibu saya tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi indikator laki-laki komplit ala Bu Eka (Ibu saya). Mari kita bahas satu per satu.

1. Harus Cerdas.
Bagi saya, untuk menjadi seorang anak yang cerdas, semua berawal kembali lagi kepada sosok Ibu. Karena Ibu saya lah yang telah menjalani proses yang sangat panjang, dari mulai masa hamil atau masa-masa saya di dalam kandungan, lalu melahirkan saya dengan selamat, menyusui saya, merawat saya, dan mendidik saya. Semua itu mungkin jika diakumulasi hanya selama 3-4 tahun hingga saya akhirnya berumur 4 tahun dan sudah mampu berbicara dan melakukan beberapa aktivitas seorang diri. 4 tahun yang mungkin sangat singkat, tapi dijalani penuh dengan hati-hati oleh Ibu saya, sehingga saya dapat terlahir sebagai manusia yang sehat, gembira, dan memiliki pola pikir yang baik.

Barulah kemudian kita mulai menentukan sendiri kemana kita akan bergerak, kepada siapa kita memutuskan untuk berteman, seperti apa sosok diri kita yang kita inginkan. Walaupun memang di dalamnya ada faktor doa Ibu saya yang mengarahkan ke lingkungan yang seperti apa saya memilih untuk hidup di dalamnya.

Dan akhirnya, saya berani berkata bahwa kecerdasan yang selama ini saya miliki. Otak yang ada dalam diri saya, yang kemudian saya gunakan untuk mampu diterima di SMP 3 Depok, SMAN 1 Depok, dan saat ini berkuliah di Universitas Gadjah Mada, adalah karunia yang sejak awal sudah dijaga kualitasnya oleh orang tua saya. Sehingga saat ini saya sangat nyaman memanfaatkannya dan mampu menggunakannya sebebas-bebasnya dan mengoptimalkannya sejauh kemampuan saya.

2. Jago Olahraga.
Sama dengan poin pertama, saya juga merasa bahwa fisik yang saya miliki saat ini semuanya adalah dampak dari kasih sayang orang tua saya dalam merawat saya ketika saya kecil. Saya merasa bersyukur memiliki fisik yang alhamdulillah normal, dan dengan bebas mampu melakukan berbagai hal yang saya sukai, termasuk berolahraga. Saya memilih untuk bermain futsal, sepak bola, bulu tangkis, pingpong, dan baseball. Dan yaa, saya cukup mahir di olahraga futsal.

3. Pinter Agama.
Sejujurnya, saya sama sekali tidak terlahir dari keluarga yang fakih dalam agama. Tapi, berawal dari perkataan Ibu saya tersebutlah kemudian saya mulai tertarik untuk masuk ke organisasi keislaman yang ada di sekolah. Walaupun pada akhirnya orang tua saya seringkali mengingatkan saya akan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ada, seperti ajaran-ajaran sesat, terorisme, dll. Tapi, saya berusaha untuk tetap bersikukuh memasuki organisasi keislaman yang ada di sekolah, karena bagi saya di sanalah pintu saya bisa memiliki relasi dari orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang lebih baik.

Singkat cerita, kemudian saya merasa sangat nyaman di lingkungan Rohis. Faktor terbesarnya adalah karena di sana saya sering bertemu dengan alumni-alumni pengisi mentor yang seringkali menginspirasi saya. Banyak juga tips yang bisa saya dapatkan terkait dengan akademis melalui mereka. Hingga akhirnya saya ditunjuk menjadi Ketua Rohis di SMP 3 Depok dan kemudian berlanjut menjadi ketua di Rohis SMAN 1 Depok.

Masa-masa SMA lah yang kemudian lebih banyak saya manfaatkan untuk menuntut ilmu agama. Kenapa? Karena di sana saya baru merasakan berada di tengah teman-teman yang sangat semangat mencari ilmu. Semangat itulah yang kemudian mendorong saya untuk ikut belajar bersama mereka. Banyak hal yang saya dapatkan ketika SMA dan Kuliah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran dalam menjalani aktivitas sehari-hari, salah satunya adalah soal bermain musik.

C. Bisa Bermain Musik
Ada 2 buku yang pernah saya baca, yang pertama adalah Munhajul Qashidin oleh Ibnu Qudamah, dan yang kedua adalah Buku Halal Haram Kontemporer oleh Ustadz Erwandi Tirmidzi. Kedua buku tersebut mengharamkan musik yang kemudian menjadikan barrier yang sangat besar dalam hidup saya. Larangan tersebut didasarkan pada beberapa hadits, salah satunya adalah hadits yang berbunyi: "Akan datang suatu masa dimana terdapat sekelompok umatku yang menghalalkan perzinahan, menghalalkan memakai kain sutra (bagi laki-laki), menghalalkan (meminum) khamr, dan menghalalkan alat musik." (HR. Bukhari)

Tapi, memang ada pendapat yang melarang dan ada pula pendapat yang membolehkannya dengan alasan dan syarat-syarat tertentu. Wallahu A'lam.

Namun, jika kita kembalikan ke awal. Saya memang pernah bisa bermain gitar. Saya belajar bermain gitar sejak kelas 5 SD secara otodidak bersama kakak saya. Hingga ketika saya masuk ke SMP, tepatnya ketika saya kelas VII SMP, saya melihat banyak sekali teman saya yang mahir bermain gitar. Dan sejak saat itulah saya merasa bahwa dunia ini sudah tidak lagi membutuhkan seorang gitaris. Maka, saya memutuskan untuk tidak lagi bermain gitar.

Tidak berhenti sampai di situ. Selepas saya memutuskan untuk tidak lagi bermain gitar, di dalam diri saya masih terdapat keinginan untuk bisa bermusik. Namun, di dalam diri saya, saya juga bingung bagaimana caranya. Hingga muncul-lah sebuah trobosan untuk bermusik secara acapella. Kala itu saya di Rohis dipertemukan dengan sebuah perlombaan bernama Lomba Nasyid, tapi kala itu saya tidak ikut karena saya tidak punya tim nasyid. Sejak saat itulah saya menjadikan nasyid sebagai profesi saya.

Saya sempat memiliki sebuah grup nasyid bernama Ukhuwah Voice ketika SMP kelas VII sampai dengan kelas VIII awal. Tapi itu masih sangat amatir. Saya sedih jika mengingat-ingat ke masa itu. Setelah itu, barulah saya membuat sebuah tim nasyid bersama salah satu teman saya bernama Farhandika Nafil. Kami melakukan penyaringan terhadap anak-anak yang menurut kami memiliki kapabilitas di nasyid. Hingga akhirnya terbentuklah sebuah tim nasyid bernama SENASIP (Senandung Nasyid Paling Sip!) selama kurang lebih 10 bulan, sebelum akhirnya kami merubah nama dan lebih terkenal secara profesional melalui nama SIKLUS ACAPELLA.

Saya dan SIKLUS memiliki perjalanan yang sangat panjang. Dari mulai tampil di SMP 3 itu sendiri, di masjid-masjid sekitar sekolah, hingga diundang oleh beberapa fakultas di Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta, memenangkan berbagai perlombaan dari berbagai level, dan terakhir diundang sebagai bintang tamu di beberapa acara termasuk salah satunya di acara Mudik Bareng Telkomsel 2011 dimana di sana juga diundang Bapak SBY dan Bapak Andi Malaranggeng.

Kelas IX SMP sampai dengan kelas X SMA adalah masa-masa kejayaan Siklus Acapella, walaupun mulai berpisah karena perbedaan SMA, kami masih sering kumpul, latihan, dan manggung di beberapa tempat. Tapi, kemudian ketika saya mulai naik ke kelas XI SMA, seiring dengan semakin saya sibuk di Rohis, semakin saya juga mengenal Islam lebih dalam, semakin besar petunjuk yang saya dapatkan. Hingga di akhir kelas XI SMA saya membuat sebuah keputusan yang sangat berat, yaitu keluar dari SIKLUS. Keputusan inilah yang kemudian diikuti oleh teman-teman saya hingga akhirnya kami sepakat untuk membubarkan diri dan membagi-bagi sisa uang kas yang ada. Saat itu per orang mendapatkan uang kurang lebih Rp 500.000, merupakan sisa dari penampilan-penampilan saya selama bernasyid.

 Kemudian sampai detik ini, saya sejujurnya masih sangat sulit untuk meninggalkan musik dan saya tetap berusaha untuk meninggalkannya. Karena memang musik sangat mendarah daging di kehidupan kita. Di restoran kita bertemu musik, di film-film yang kita tonton pun bertemu dengan musik, di kampus kita dengan mudahnya menemui lagu-lagu, di manapun.

***

Dan inilah jejak hidup saya bersama musik yang harus saya akhiri. Saya berusaha untuk mampu memenuhi kriteria Laki-Laki Komplit ala Ibu saya, tapi saya terpaksa harus meninggalkan salah satu keinginan Ibu saya, yaitu bisa bermain musik. Kenapa? Karena poin ke-3 yang berbunyi 'Pintar Agama', setelah saya dalami justru akan sangat bertolak-belakang dengan poin ke-4 ini, yaitu 'Bisa bermain musik'. Di sini saya tidak menyalahkan Ibu saya karena memang Ibu saya bukanlah orang yang fakih agama. Tapi, melalui hal inilah akhirnya saya mendapatkan hikmah, bahwa mungkin melalui saya, Allah mencoba untuk memberikan pemahaman kepada Ibu saya, khususnya keluarga saya tentang Islam yang kaffah.

Adilkah Allah?

Saya merasa bahwa Allah itu Maha Adil. Terlepas apakah kalimat tersebut adalah sebuah opini ataupun fakta. Saya membebaskan kepada kalian semua untuk bertumpu pada Mindset kalian masing-masing. Karena saya tahu, saya pernah merasakan, bahwa menjalani sebuah kehidupan yang didasarkan pada doktrin-doktrin, atau hal-hal yang mau tidak mau harus Anda terima itu sangat tidak menyenangkan. Terserah teman-teman berkata apakah Tuhan itu adil atau tidak. Tapi, saya berkata: Tuhan itu Maha Adil. That's a final statement.

Suatu hari saya pernah berdebat (secara tidak sengaja) dengan seorang teman saya yang berkata bahwa: kita hidup di dunia yang penuh dengan ketidakadilan. Dia -teman saya- berkata bahwa jika memang islam adalah sebuah kebenaran, maka Allah tidak adil. Karena kita terlahir Islam, sedangkan banyak orang di luar sana tidak terlahir Islam. Saya, tentu saja tidak setuju dengan ucapannya. Saya rasa ucapannya sama seperti anak kelas 2 SD yang bahkan masih belum mengerti apa itu agama.

Teman-teman, Allah itu Maha Adil. Dan itu adalah kunci dari semua ketidakpastian yang ada di muka bumi ini. Allah Maha Adil itu tidak hanya sebatas kata-kata, tapi itu adalah sebuah hal yang harus diyakini dan dipercayai. Karena jika tidak, percayalah bahwa Anda akan menjadi gila, seperti pemikiran teman saya kala itu.

Jika seorang terlahir menjadi kristen, maka ia memiliki potensi untuk tidak mendapat hidayah hingga akhir hayatnya. Tapi mengenal Islam, itu adalah sebuah hal yang pasti akan dirasakannya. Kenapa? Karena Allah Maha Adil. Jika orang kristen tersebut hidup di dunia selama 80 tahun, maka pasti ada suatu masa ketika ia melihat adanya cahaya islam di dunia ini. Pertanyaannya adalah, apakah ia menolak atau justru menerima cahaya Islam tersebut.

Jika seorang terlahir Islam, maka tentu ia juga punya potensi untuk tidak mendapat hidayah atau menadapat khusnul khatimah di akhir hayatnya. Tapi mengenal nilai-nilai Islam, mengenal Al Qur'an, itu adalah hal yang pasti akan dirasakannya. Jika seorang muslim tersebut hidup selama 40 tahun di dunia ini, maka pasti ada suatu masa ketika ia merasakan indahnya nilai-nilai islam, tapi di sisi lain ia juga punya suatu masa ketika ia melihat bahwa agama lain justru jauh lebih Indah. Agama lain diperbolehkan berzina (misalnya), atau minum khamr, atau makan babi, tetapi Islam justru melarang.

Seorang muslim yang memiliki kadar iman yang rendah memiliki tantangan yang berbeda dengan seorang muslim yang memiliki kadar iman yang tinggi. Ada muslim yang di satu sisi, ia sangat kesulitan dalam menjalani sholat 5 waktu, dan mudah untuk bermaksiat. Ada muslim yang sangat sulit menjalani sholat sunnah rawatib, tapi ia mudah untuk melakukan sholat 5 waktu. Ada muslim yang kesulitan menjalani puasa, tapi ia mudah dalam menjalani Qiyamulail. Ada yang kesulitan menjalani Ibadah Haji dan berzakat, tapi ia mudah dalam menjalani sholat, puasa, qiyamulail, dan sedekah.

Setiap level keimanan sama-sama memiliki kesulitan. Karena Allah Maha Adil. Seorang Mufti tidak mungkin meninggalkan sholat 5 waktu, tetapi masih mungkin meninggalkan puasa sunnah. Dan melengkapi puasa sunnah adalah tantangan baginya. Seorang awwam yang hidup di tengah kemaksiatan akan mudah bermaksiat dan sulit menjalani sholat 5 waktu secara full. Dan menjalani sholat 5 waktu secara full adalah sebuah tantangan baginya.

Jadi, kenapa orang yang berislam sejak lahir itu tetap adil jika dibandingkan seorang yang terlahir non-islam?

Karena seorang yang terlahir Islam punya segudang potensi untuk munafik. Siapa orang yang munafik? Yaitu orang yang tahu bahwa perbuatan A adalah dosa, tapi ia menjalankannya. Dan ia tahu bahwa perbuatan B adalah kebaikan, tapi ia menolaknya dan justru tetap bergerak dalam keburukan. Dalam sebuah hadits shahih, dikatakan bahwa orang muslim yang munafik tempatnya adalah di Neraka Yang Paling Dalam. Sedangkan seorang kristen, yang hidup sampai akhir hayatnya menjalan sejuta kebaikan, ia akan tetap masuk neraka. Tapi ia tetap akan berada di tingkatan yang lebih tinggi daripada orang Muslim yang munafik.

Di sisi lain, orang muslim punya kesempatan untuk menyadari kesalahannya, dan menggugurkan dosa-dosanya baik dengan amalan-amalan yang mampu menggugurkan dosa ataupun dengan perbuatan taubat. Sedangkan orang non-muslim memiliki kesempatan pula untuk menyadari kesalahannya, dan bersyahadat untuk masuk islam dan menjalani kehidupan secara suci seperti bayi yang baru lahir.

Percayalah bahwa sekalipun orang badui yang hidup 100 tahun di pelosok hutan, ia pasti pernah merasakan hadirnya petunjuk Islam dalam hidupnya walau hanya sekali. Dan selebihnya, itu adalah keputusannya untuk menerima cahaya tersebut atau tidak, walaupun di Laughul Mahfudz Allah pun sudah mencatat tentang takdir hidup dan matinya.

Selasa, 09 Agustus 2016

Suka Duka Tax Amnesty (2)

Tax Amnesty didefinisikan sebagai penghapusan pajak bagi wajib pajak dengan syarat membayar tebusan. Tax Amnesty ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang menyimpan uang di luar negeri, melainkan seluruh wajib pajak.  Dan memang tidak salah ketika seorang wajib pajak, atau WNI menyimpan uang mereka di luar negeri. Hanya saja sebagian dari mereka terindikasi melakukan pengemplangan pajak, alias melarikan uang ke luar negeri agar tidak membayar pajak di Indonesia.

Untuk berhasil, Tax Amnesty memiliki beberapa syarat, salah satunya adalah dengan melakukan reformasi perpajakan. Karena salah satu fungsi Tax Amnesty ini adalah untuk mendata siapa saja yang selama ini bandel tidak membayar pajak, dan data ini dapat digunakan untuk penyelidikan pajak ke depannya. Seiring dengan hal tersebut, Indonesia butuh sistem pajak termasuk informasi wajib pajak yang bagus, sedangkan realitanya sistem pajak Indonesia masih banyak sekali celahnya.

Ada beberapa Negara yang pernah menerapkan kebijakan Tax Amnesty ini, salah satunya adalah Afrika Selatan yang konon sukses. Kenapa bisa sukses? Karena mereka saat itu juga menerapkan reformasi pajak seiring dengan proses rekonsiliasi politik yang sedang berlangsung. Sedangkan India sudah berkali-kali menerapkan Tax Amnesty, tetapi terus gagal. Dan terakhir ia berhasil dikarenakan adanya reformasi pajak yang serius. Nah, bagi Indonesia, kita tidak harus mencoba berulang kali kemudian gagal seperti di India. Walaupun yang terjadi saat ini adalah UU Tax Amnesty yang masih dadakan, sehingga tak terbantahkan bahwa pasti persiapannya masih kurang.

Tax Amnesty ini juga dipandang kurang efektif karena dananya lebih banyak masuk di sektor keuangan dan hanya berputar di sana. Dampaknya ke sektor riil sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi di Triwulan II dimana pertumbuhan sebesar 5,18% bukan didorong seluruhnya dari Investasi. Realisasi investasi di Indonesia masih rendah. Lalu ke mana larinya Tax Amnesty? Karena dana Tax Amnesty banyak yang masuk ke pasar saham, sehingga menyebabkan IHSG kita naik hingga menyentuh 5400. Semakin jelas bahwa dana Tax Amnesty ini tidak memiliki pengaruh besar juga ke UMKM, yaitu setelah rilis data terbaru dari BPS yang menunjukkan pertumbuhan Industri Jasa Keuangan paling tinggi, yaitu mencapai lebih dari 13%. Sedangkan Ekonomi hanya tumbuh sebesar 5,18%. Artinya memang Tax Amnesty tidak nyambung ke sektor UMKM.

Oleh karena itu, titik pembenahan terletak di Pemerintah dan Perbankan. Ada lebih dari 15 bank di Indonesia yang ditunjuk pemerintah untuk menampung dana Tax Amnesty. Tetapi Pemerintah tidak membuat satupun klausul kontrak yang mewajibkan bank-bank tersebut untuk menyalurkan kredit ke sektor UMKM

Terakhir, Indonesia termasuk salah satu Negara yang menyetujui Sistem Penukaran Informasi Otomatis atau Automatic Exchange System of Information (AEoI) antar Negara dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Turki, efektif mulai 2018. Melalui AEoI inilah kelak petugas pajak dapat melihat uang WNI di luar negeri. Jadi, semuanya akan serba transparan dan tidak ada lagi yang bisa menyembunyikan uang di Bank Swiss atau Bank manapun. Nah, sebelum 2018 diharapkan seluruh WNI yang memiliki masalah pajak dan meletakkan uangnya di luar negeri untuk mengikuti Tax Amnesty. Intinya, Pemerintah memberikan kesempatan untuk "bertaubat" sebelum dendanya nanti akan besar saat diterapkan AEoI.

bersambung...

Suka Duka Tax Amnesty (1)

Beberapa hari yang lalu, ada sebuah perbincangan yang sangat menarik di sebuah organisasi sekaligus kelompok studi yang saya ikuti di FEB UGM. Organisasi sekaligus kelompok studi tersebut bernama SEF UGM, singkatan dari Sharia Economics Forum UGM. Singkat cerita, salah satu alumni yang merupakan mantan ketua SEF UGM ini, beliau bernama Mas Bhima, beberapa hari yang lalu diundang ke Metro TV untuk membahas sisi baik dan buruknya mengenai Tax Amnesty. Dan melalui postingan ini, saya akan sedikit menuangkan apa itu Tax Amnesty dan baik buruknya berdasarkan hasil diskusi tersebut.

Tax Amnesty alias Pengampunan Pajak adalah sebuah kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kemenkeu. Kebijakan ini dibuat didasarkan pada anggaran pemerintah saat ini yang sedang kritis. Penerimaan dari pajak turun drastic, salah satunya disebabkan karena ekonomi sedang melemah. Nah, kemudian pemerintah mencari cara bagaimana untuk bisa menutup lubang pajak ini, yaitu dengan mengampuni wajib pajak luar negeri dan dalam negeri yang masih belum melaporkan pajaknya. Ditambah lagi memang potensi dana Tax Amnesty ini cukup besar, ada dana lebih dari 4.000 triliun yang dimiliki WNI di luar negeri. Sedangkan target pemerintah terkait dengan pemasukan melalui dana Tax Amnesty tahun ini adalah sebesar 165 triliun.

Lalu, mau dimasukkan ke mana dana Tax Amnesty yang besar itu. Apakah dimasukkan ke Saham? Obligasi? Bank? Atau sektor riil seperti Industri dan UMKM? Nah, sejauh ini dana tersebut lebih banyak masuk ke sektor keuangan seperti saham dan surat utang. Kenapa? Karena sektor tersebut memberikan imbalan yang pasti dan besar pula, yaitu rata-rata 8%. Nah, tapi masalahnya adalah jika dana ini masuk ke dalam sektor keuangan justru akan menimbulkan bahaya. Bahaya yang muncul adalah gelembung asset atau Bubble, selain itu juga jika dana hanya mengalir di sektor keuangan, kapan sektor riil dapat menikmatinya? Kenapa Industri dan UMKM tidak boleh menikmati dana yang besar tersebut?

Kemudian terkait dengan realita hari ini, pemasukan dana Tax Amnesty masih sangat jauh dari target. Pemasukan masih belum mencapai 6% dari total target 165 triliun. Kenapa ini bisa terjadi? Entah, mungkin masih ada keraguan dari pihak pengusaha. Dan apabila pemasukan dari dana Tax Amnesty ini tidak mencapai target, maka akan menyebabkan terjadinya gagal fiscal alias penerimaan Negara jauh dari target. Yang kemudian hal ini berdampak pada melebarnya deficit anggaran yang bahkan bisa mencapai lebih dari 3%, yang artinya tembus melewati batas deficit APBN terhadap PDB Indonesia yang telah diatur di UU.

Terkait dengan Tax Amnesty ini, Bank Indonesia juga mengatakan bahwa target 165 Triliun cukup mustahil untuk dicapai, pemasukan melalui dana Tax Amnesty tahun ini hanya mampu maksimal mencapai 60 triliun. Menteri Keuangan yang baru dialantik, Sri Mulyani juga ragu. Ia mengatakan bahwa penerimaan dari Tax Amnesty ini sangat berat, maka dari itu untuk menyelamatkan APBN akan dilakukan pemotongan belanja Negara sebesar 133,8 triliun.

Kemudian dari sudut pandang pengusaha, APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menyatakan dukungannya pada Tax Amnesty ini. Sedangkan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) menilai kebijakan ini tidak adil bagi pengusaha yang selama ini taat pajak. Dan ini saya sangat setuju, somehow melalui kebijakan ini pengusaha-pengusaha yang taat pajak sangat dirugikan dan mereka yang bandel justru diringankan. Tapi, lagi-lagi setiap kebijakan pasti ada unsur tarik-ulur politik di dalamnya.

bersambung..

Rindu Mengaji

Campur aduk. Ya begitulah rasanya. Mungkin anda sekali-kali harus merasakan bagaimana menjadi sesosok diri saya. Banyak hal yang telah saya lalui yang menjadikan seperti inilah sosok Adhita yang kalian temui. Saya yakin, begitu pula yang terjadi pada diri Anda. Banyak kejadian atau pengetahuan yang Anda baca yang menjadikan seperti itulah sosok Anda. Inilah yang menjadikan kehidupan berjalan dengan sangat menarik.

Belakangan ini, saya sering sekali mendengar informasi unik di berita ataupun berbagai media social. Dari mulai penyanyi dangdut yang mati karena digigit ular ketika menyanyi di atas panggung (ini konyol banget), model majalah dewasa atau foto-foto merangsang yang menjadi buta kedua matanya simply karena dia sering memakai lensa kontak dan jarang sekali melepaskannya, rencana menteri pendidikan untuk menerapkan full-day school, baik buruknya Tax Amnesty yang diterapkan Menkeu,  hingga atlet renang di ajang Olimpics yang di lengannya terdapat buletan bekas pengobatan Bekam.

Entah kenapa, tapi saya merasa di dunia ini setiap orang berbondong-bondong hadir memecahkan masalah dengan berbagai kalkulasi ataupun teori yang ditemukannya yang dianggap benar, tapi tak berselang lama teori tersebut dipatahkan. Atau full-day school misalnya yang konon merupakan solusi dari masalah pendidikan saat ini, kelak ketika Jokowi turun dari jabatannya saya yakin pasti program tersebut akan diganti oleh Menteri Kemendikbud yang baru. Hingga saya selalu bertanya, tidak adakah pedoman dalam menjadi kehidupan ini? Sehingga kita tidak saling patah mematahkan teori padahal keduanya sama-sama tidak benar 100%, padahal keduanya bukanlah solusi yang menjawab permasalahan yang ada.

Bumi ini sudah tua, dewasa ini semakin jelas terlihat bagaimana ajal menjemput seseorang persis sesuai dengan apa yang seringkali orang tersebut lakukan dalam hidupnya. Penyanyi dangdut meninggal saat menyanyi dangdut. ABG gaul meninggal saat hendak meminum kopi di tempat-tempat gaul. Kejahatan-kejahatan pun semakin terkuak. Dan kebenaran semakin jelas muncul ke permukaan. Bukan berarti saya menyalahkan pola hidup kita dan melarang pola hidup tertentu. Tapi, bumi ini sudah tua, bukan saatnya lagi kita bergerak bebas tanpa tujuan. Bukan saatnya lagi kita berjalan bebas dan melupakan tanggung jawab "di masa yang akan datang", padahal kehidupan tersebut merupakan hal nyata yang kelak akan terjadi.

Dan saya selalu merindukan masa-masa ketika saya duduk, membuka Al Qur'an, mengkajinya bersama guru dan teman-teman saya. Karena saat itulah saya merasakan petunjuk dalam menjalani kehidupan ini. Dan saat itulah saya mampu hidup dengan damai, dengan tanpa satupun kekhawatiran dalam menjalani hidup ini. Karena Tuhan itu ada, Dialah yang menjamin segala kebutuhan hidup kita, Dialah yang menyaksikan segala perbuatan kita, Dialah yang kelak akan meminta pertanggungjawaban atas segala apa yang kita lakukan, dan Dialah yang sangat menyukai dan dekat terhadap orang-orang yang selalu mendekatkan diri dengan-Nya.

Living In The Dream

Ada yang bilang, bahwa kenikmatan yang kamu alami baru dapat kamu sadari setelah kenikmatan tersebut hilang. Kalo berdasarkan salah satu lirik di lagu Sheila On 7 yang berjudul Percaya Padaku, disana terdapat penggalan, "..Kau takkan pernah tau apa yang kau miliki, hingga nanti kau kehilangan...". Pun orang tua kita seringkali menasehati kita untuk menjaga kesehatan, karena mahalnya kesehatan baru terasa ketika kita jatuh sakit. Selalu seperti itu. Intinya, apa yang kamu nikmati baru akan terasa berharga ketika kamu kehilangannya.

Dan saya menyadari hal tersebut ketika saya sedang dalam perjalanan dari Dieng menuju Jogja. Saat itu saya berkendara sepeda motor seorang diri. Di perjalanan, saya ditemani hujan lebat nan awet dari Wonosobo hingga Borobudur. Di saat itulah saya menyadari, ada hal yang dulu sangat ingin saya rasakan dan nyatanya saat ini saya merasakannya. Ketika SMA dulu, saat kehidupan berada di pucuk ke-stress-an, saya punya keinginan untuk hidup di wilayah yang merupakan pusat kota tetapi tidak jauh dari alam yang asri nan hijau. Saatitu saya tidak punya pemikiran bahwa Jogja adalah Kota yang pas untuk menjawab keinginan saya tersebut, itulah kenapa setelah SBMPTN saya juga mendaftar Ujian Tulis Universitas Brawijaya Malang. Simply karena saya sudah muak hidup di Ibu Kota dengan segala polusi, kemacetan, dan jauh dari alam asri nan hijau.

Maka, tidak heran ketika saya diterima di Universitas Gadjah Mada, Saya sangat senang. Tidak hanya saya, seluruh keluarga saya pun senang mendengar saya diterima di UGM. Saya bahkan masih ingat selebrasi saya, kakak saya, ibu saya, dan ayah saya yang saat itu saya yakin pasti sangat mengganggu tetangga-tetangga di kiri kanan rumah saya.

Jogja adalah mimpi saya yang terwujud. Hidup di sebuah kota yang menurut saya adalah kota terbaik di Pulau Jawa, adalah sebuah keinginan yang diwujudkan oleh-Nya. Hidup di perkotaan yang indah, dengan tingkat polusi yang lebih rendah daripada tempat asal saya, Kota yang dikelilingi oleh daerah-daerah sejuk, biaya hidup yang relative murah dibandingkan Jakarta, kajian-kajian islam yang juga sangat mudah ditemui dan dijangkau, mall-mall yang cukup banyak, serta fasilitas umum yang jauh lebih maju dibandingkan kota asal saya.

Saya bisa saja teriak sekencang-kencangnya di tengah sawah ketika masa-masa stress melanda, atau terlentang di atas pasir putih, memandang birunya air laut dan langit nan jingga, atau meloncat dengan bebasnya dari atas batu besar ke tengah sungai yang mengalir indah.

Dan perjalanan saya menuju Dieng ataupun sebaliknya, merupakan salah satu impian saya dimana saya dapat menikmati perjalanan antar provinsi, antar kota, antar wilayah dengan bebas, tanpa dihiasi kemacetan (khususnya kemacetan mudik), berhenti di tepi jalan sambil menikmati es kelapa yang baru dipetik dari pohonnya dengan pemandangan sawah dan perbukitan sejauh mata memandang. It's so relaxing!

Maka tak heran jika ketika saya pulang ke tempat asal saya, banyak teman-teman saya yang berkata: "Dhit, lo gemukan!" atau "Dhit, lo kok iteman deh!". Well, saya cukup menjawabnya dengan pernyataan, "Saya bahagia hidup di Jogja dan saya sangat menikmati hidup dekat dengan desa. Saya bisa menikmati alam terbuka, pedesaan yang sejuk, sawah membentang luas, dan pegunungan-pegunungan yang menyejukkan sama kuantitasnya dengan saya menikmati film-film Box Office terbaru atau informasi-informasi tentang Reshuffle Kementrian. Saya menghidupi mimpi saya dan saya bersyukur dengan apa yang saya dapatkan."

Kamis, 03 Maret 2016

Si Tukang Koran

Ketika kita merasa segala hal yang kita rasakan saat ini terasa sangat mudah, indah, dan sangat nyaman, apakah itu juga merupakan sebuah ujian?

Seperti yang sedang saya rasakan. Setelah perjuangan yang saya rasakan beberapa tahun lalu, kini, sampailah saya pada sebuah zona yang sangat sangat nyaman. Semakin tinggi semesternya, semakin indah rasanya nilai-nilai kapitalis bagi saya, semakin indah rasanya kota yang saya tempati ini, dan selalu saja ada kejutan baru yang saya temukan di Jogjakarta.

Tapi, apakah semua kenikmatan itu selalu menjadi sebuah karunia?

"..maka, adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberikannya kesenangan, maka ia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku. Namun, apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, "Tuhanku telah menghinaku". Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, sedang kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram), dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.."

Kamu tau rasanya ditampar? Sakitnya ditampar? Sebuah tamparan yang harusnya mampu meneteskan air mata kita namun kita bahkan tidak bisa menangis karena terlalu kufur? Baca ayat di atas. Cukup membacanya saja.

                                                                          ***
Pagi itu suasana hening sekali, saya terbangun tanpa menyadari bahwa semalaman saya tidur bersama laptop yang masih menyala dan sisa makanan tadi malam yang tidak sempat saya rapihkan. Dan satu hal lagi, saya bahkan tidak ingat kenapa saya tidur di lantai malam itu. Ini juga pertama kalinya sejak terakhir kali saya bangun sepagi ini, ya, 04:00am. Kuliah siang dan sore yang saya ambil di semester ini menimbulkan masalah baru bagi waktu sholat subuh saya.

Hal yang pertama kali saya putuskan ketika melihat pemandangan di sekeliling saya yang sangat berantakan, termasuk ketika melihat jam hp yang masih menunjukkan pukul 4 pagi, adalah kembali tidur. Ya, saya pun kembali memejamkan mata tanpa peduli pada apapun sedikitpun.

Hingga suara adzan subuh dengan suara mendayu-dayu seperti perempuan, ditambah mic yang mati-nyala-mati-nyala membangunkan saya. Reaksi pertama saya adalah mengeluh. Ketika suara adzan terdengar dan Anda dalam kondisi sadar dan mendengarnya, tentu ke masjid menjadi hal yang harus Anda pertimbangkan untuk tidak dilakukan. Tepat sekali, reaksi pertama saya ini masih belum mampu mengangkat tubuh saya untuk berdiri. Reaksi kedua saya adalah tertawa, bukan karena saya berpikir akan pergi ke masjid, tetapi karena suara adzan yang mati-nyala-mati-nyala tersebutlah yang saya ketahui pasti bahwa itu adalah suara dari si tukang koran.

Satu hal yang saya tanyakan dalam benak saya di detik pertama saya menyadari bahwa itu adalah suara si Tukang Koran adalah...

"Oh God.. After all this time??"
"Really...?? After all this time??"
"Sumpeh....??"
"Demiapaaaaaaaaa??"

Dan satu hal konyol yang saya rasakan di benak saya, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke masjid, yaitu....

"Always", jawab si Tukang Koran.

Baiklah, saya pikir, ini saat yang tepat bagi saya untuk mengalah dan memberikan pahala saya kepada si Tukang Koran yang..
after all this time, ketika saya sibuk dengan naik turunnya iman saya..
Baliau tetap menjadi muadzin yang setia membangunkan saya di setiap paginya :)