Senin, 20 Februari 2017

Merenungi Jati Diri

Kemarin saat ulang tahun yang ke-21, saya mendapat kejutan dari rekan-rekan saya di Shariah Economics Forum. Lalu, selepas kejutan dan pemotongan kue selesai, saya diminta untuk memberikan sepatah-dua-patah kata. Lalu, akhirnya saya menceritakan tentang Amelia Aisyah. Awalnya saya pancing dengan gambaran kisah seorang perempuan muslimah yang menarik hati, lalu di akhir saya tutup dengan kisah meninggalnya beliau. Semua orang yang tadinya tersenyum, tertawa, mendengar kisah saya yang nampaknya akan berakhir dengan hal-hal lucu, justru pada akhirnya diam dan berkaca-kaca mendengarnya. Setelah itu pun beberapa orang datang menghampiri saya, menyampaikan betapa sedih dan inspiratifnya kisah yang saya sampaikan.

Beberapa minggu setelah momen tersebut, saya mendapat kabar buruk tentang sakitnya seorang teman saya yang membuat saya harus pulang ke Depok. Sebelum pulang, ketika saya sedang duduk di masjid setelah shalat isya, saya berbincang dan bercerita kepada seorang adik kelas saya yang beberapa minggu ke depan akan pergi ke Depok untuk melakukan lomba di Universitas Indonesia. Menariknya, setelah saya bilang bahwa saya akan pulang ke Depok untuk menjenguk teman saya yang sedang sakit parah, dia berkata: "mas, kok temenmu banyak banget yang sakit atau meninggal gitu sih?". Sebuah pertanyaan yang tidak terduga muncul malam itu. Pertanyaan yang kemudian membuat saya berpikir. Menelusuri ulang kisah-kisah kematian yang pernah hadir di sekitar hidup saya. Lalu saya mengiyakan dalam hati.

Di sisi lain, saya jadi teringat tentang pertanyaan salah seorang teman saya, Fauzi, ketika kami sedang berbincang di podcast-nya, #MariDengarSudutPandang. Di akhir sesi, ada pertanyaan yang terlontar kepada saya yang kemudian saya juga bingung apa jawabannya. Pertanyaan tersebut berbunyi: "kenapa sih dhit lo itu lurus-lurus aja hidupnya?". Kurang lebih seperti itu bunyinya. Dan pertanyaan tersebut bukanlah yang pertama kali saya dengar. Sebelumnya ada beberapa orang yang bertanya demikian. Kebanyakan mereka adalah teman-teman SMA saya.

Lalu saya berpikir, jika pertanyaan tersebut ditanyakan di detik setelah adik tingkat saya bertanya "mas, kok temenmu banyak banget yang sakit atau meninggal gitu sih?". Mungkin saya akan tahu jawabannya. Apa jawabannya? Apapun itu, saya yakin kematian adalah salah satunya. Maksud saya, saya adalah orang yang telah banyak melihat kematian orang lain. Mungkin tidak hanya kematian, tapi juga tentang orang-orang yang menghadapi masa-masa sulitnya ketika sakit, baik itu ketika tiba-tiba sakit, atau sakit yang tiba-tiba menjadi parah di saat dia sakit. Banyak pengalaman saya melihat orang-orang demikian. Dan saya sadar, harusnya itu adalah jawabannya.

Pernahkah Anda merasa tidak bersemangat dalam hidup? merasa bahwa dunia ini tidak terlalu "berwarna"? merasa sama sekali tidak ter-ejek dengan kesombongan orang lain atau ejekan-ejekan yang secara langsung ataupun tidak langsung mengarah kepada Anda? merasa tidak terpesona ketika melihat orang lain selfie di luar negeri? merasa jijik ketika melihat dua anak labil sedang pacaran? Tapi, di balik itu semua justru Anda terpesona melihat kearifan lokal yang ada di sekitar Anda. Iri dengan orang-orang yang bisa selfie di tanah suci. Kagum dengan orang-orang yang mampu belajar agama, belajar bahasa arab untuk mempermudah memahami Al Quran tapi di sisi lain juga tetap berprestasi di bidangnya.

Sejak kecil saya sudah sering dihadapkan dengan kondisi-kondisi yang memaksa saya untuk merenung, seperti ayah saya yang seringkali mendadak sakit, meninggalnya budhe saya di kamar saya sendiri, situasi-situasi yang nyaris merenggang nyawa saya, kematian teman-teman saya, kematian guru-guru saya, dan lain-lain. Ini semua menjadikan saya sebagai seorang perenung. Seorang ekstrovert yang juga butuh waktu untuk menyendiri untuk berpikir jernih. Seorang yang dibalik segala kapabilitasnya, pada akhirnya ia hanya akan memilih hal-hal yang bisa berpengaruh pada keimanan dan keberlangsungan hari akhirnya.

Apa yang pernah saya alami dan hadapi dalam hidup saya adalah alasan di balik berdirinya seorang Adhita seperti yang kalian kenal saat ini. Terkadang saya berpikir bahwa saya tidak terlahir dari keluarga yang agamis atau religius, dan sebetulnya tidak menjadi sebuah masalah jika saya melakukan pacaran, pesta-pesta, menjadi perokok, dsb. Tapi, entah kenapa saya justru tersadar untuk tidak melakukan hal-hal itu. Saya belajar banyak dari pengalaman hidup orang lain, dari apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Itu semua yang kemudian bukannya hilang, melainkan terkumpul menjadi satu, membekas di hati dan pikiran saya, terolah menjadi sebuah cara pandang dan jalan hidup saya. Bagi saya, apa yang saya alami adalah apa yang Allah kehendakkan bagi diri saya. Apa yang terjadi adalah apa yang sebenarnya ingin Allah sampaikan kepada saya. Maka, saya selalu berprinsip bahwa apapun yang terjadi, suka ataupun duka, itu semua adalah kehendak yang sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Seperti sebuah quote yang selalu saya ucapkan: "Takdir itu tidak pernah salah."

Ditulis oleh Adhita Prananda
di sebuah malam
Stasiun Gambir.