Kamis, 03 Maret 2016

Si Tukang Koran

Ketika kita merasa segala hal yang kita rasakan saat ini terasa sangat mudah, indah, dan sangat nyaman, apakah itu juga merupakan sebuah ujian?

Seperti yang sedang saya rasakan. Setelah perjuangan yang saya rasakan beberapa tahun lalu, kini, sampailah saya pada sebuah zona yang sangat sangat nyaman. Semakin tinggi semesternya, semakin indah rasanya nilai-nilai kapitalis bagi saya, semakin indah rasanya kota yang saya tempati ini, dan selalu saja ada kejutan baru yang saya temukan di Jogjakarta.

Tapi, apakah semua kenikmatan itu selalu menjadi sebuah karunia?

"..maka, adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberikannya kesenangan, maka ia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku. Namun, apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka ia berkata, "Tuhanku telah menghinaku". Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, sedang kamu memakan harta warisan dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang haram), dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.."

Kamu tau rasanya ditampar? Sakitnya ditampar? Sebuah tamparan yang harusnya mampu meneteskan air mata kita namun kita bahkan tidak bisa menangis karena terlalu kufur? Baca ayat di atas. Cukup membacanya saja.

                                                                          ***
Pagi itu suasana hening sekali, saya terbangun tanpa menyadari bahwa semalaman saya tidur bersama laptop yang masih menyala dan sisa makanan tadi malam yang tidak sempat saya rapihkan. Dan satu hal lagi, saya bahkan tidak ingat kenapa saya tidur di lantai malam itu. Ini juga pertama kalinya sejak terakhir kali saya bangun sepagi ini, ya, 04:00am. Kuliah siang dan sore yang saya ambil di semester ini menimbulkan masalah baru bagi waktu sholat subuh saya.

Hal yang pertama kali saya putuskan ketika melihat pemandangan di sekeliling saya yang sangat berantakan, termasuk ketika melihat jam hp yang masih menunjukkan pukul 4 pagi, adalah kembali tidur. Ya, saya pun kembali memejamkan mata tanpa peduli pada apapun sedikitpun.

Hingga suara adzan subuh dengan suara mendayu-dayu seperti perempuan, ditambah mic yang mati-nyala-mati-nyala membangunkan saya. Reaksi pertama saya adalah mengeluh. Ketika suara adzan terdengar dan Anda dalam kondisi sadar dan mendengarnya, tentu ke masjid menjadi hal yang harus Anda pertimbangkan untuk tidak dilakukan. Tepat sekali, reaksi pertama saya ini masih belum mampu mengangkat tubuh saya untuk berdiri. Reaksi kedua saya adalah tertawa, bukan karena saya berpikir akan pergi ke masjid, tetapi karena suara adzan yang mati-nyala-mati-nyala tersebutlah yang saya ketahui pasti bahwa itu adalah suara dari si tukang koran.

Satu hal yang saya tanyakan dalam benak saya di detik pertama saya menyadari bahwa itu adalah suara si Tukang Koran adalah...

"Oh God.. After all this time??"
"Really...?? After all this time??"
"Sumpeh....??"
"Demiapaaaaaaaaa??"

Dan satu hal konyol yang saya rasakan di benak saya, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke masjid, yaitu....

"Always", jawab si Tukang Koran.

Baiklah, saya pikir, ini saat yang tepat bagi saya untuk mengalah dan memberikan pahala saya kepada si Tukang Koran yang..
after all this time, ketika saya sibuk dengan naik turunnya iman saya..
Baliau tetap menjadi muadzin yang setia membangunkan saya di setiap paginya :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar