Selasa, 09 Agustus 2016

Living In The Dream

Ada yang bilang, bahwa kenikmatan yang kamu alami baru dapat kamu sadari setelah kenikmatan tersebut hilang. Kalo berdasarkan salah satu lirik di lagu Sheila On 7 yang berjudul Percaya Padaku, disana terdapat penggalan, "..Kau takkan pernah tau apa yang kau miliki, hingga nanti kau kehilangan...". Pun orang tua kita seringkali menasehati kita untuk menjaga kesehatan, karena mahalnya kesehatan baru terasa ketika kita jatuh sakit. Selalu seperti itu. Intinya, apa yang kamu nikmati baru akan terasa berharga ketika kamu kehilangannya.

Dan saya menyadari hal tersebut ketika saya sedang dalam perjalanan dari Dieng menuju Jogja. Saat itu saya berkendara sepeda motor seorang diri. Di perjalanan, saya ditemani hujan lebat nan awet dari Wonosobo hingga Borobudur. Di saat itulah saya menyadari, ada hal yang dulu sangat ingin saya rasakan dan nyatanya saat ini saya merasakannya. Ketika SMA dulu, saat kehidupan berada di pucuk ke-stress-an, saya punya keinginan untuk hidup di wilayah yang merupakan pusat kota tetapi tidak jauh dari alam yang asri nan hijau. Saatitu saya tidak punya pemikiran bahwa Jogja adalah Kota yang pas untuk menjawab keinginan saya tersebut, itulah kenapa setelah SBMPTN saya juga mendaftar Ujian Tulis Universitas Brawijaya Malang. Simply karena saya sudah muak hidup di Ibu Kota dengan segala polusi, kemacetan, dan jauh dari alam asri nan hijau.

Maka, tidak heran ketika saya diterima di Universitas Gadjah Mada, Saya sangat senang. Tidak hanya saya, seluruh keluarga saya pun senang mendengar saya diterima di UGM. Saya bahkan masih ingat selebrasi saya, kakak saya, ibu saya, dan ayah saya yang saat itu saya yakin pasti sangat mengganggu tetangga-tetangga di kiri kanan rumah saya.

Jogja adalah mimpi saya yang terwujud. Hidup di sebuah kota yang menurut saya adalah kota terbaik di Pulau Jawa, adalah sebuah keinginan yang diwujudkan oleh-Nya. Hidup di perkotaan yang indah, dengan tingkat polusi yang lebih rendah daripada tempat asal saya, Kota yang dikelilingi oleh daerah-daerah sejuk, biaya hidup yang relative murah dibandingkan Jakarta, kajian-kajian islam yang juga sangat mudah ditemui dan dijangkau, mall-mall yang cukup banyak, serta fasilitas umum yang jauh lebih maju dibandingkan kota asal saya.

Saya bisa saja teriak sekencang-kencangnya di tengah sawah ketika masa-masa stress melanda, atau terlentang di atas pasir putih, memandang birunya air laut dan langit nan jingga, atau meloncat dengan bebasnya dari atas batu besar ke tengah sungai yang mengalir indah.

Dan perjalanan saya menuju Dieng ataupun sebaliknya, merupakan salah satu impian saya dimana saya dapat menikmati perjalanan antar provinsi, antar kota, antar wilayah dengan bebas, tanpa dihiasi kemacetan (khususnya kemacetan mudik), berhenti di tepi jalan sambil menikmati es kelapa yang baru dipetik dari pohonnya dengan pemandangan sawah dan perbukitan sejauh mata memandang. It's so relaxing!

Maka tak heran jika ketika saya pulang ke tempat asal saya, banyak teman-teman saya yang berkata: "Dhit, lo gemukan!" atau "Dhit, lo kok iteman deh!". Well, saya cukup menjawabnya dengan pernyataan, "Saya bahagia hidup di Jogja dan saya sangat menikmati hidup dekat dengan desa. Saya bisa menikmati alam terbuka, pedesaan yang sejuk, sawah membentang luas, dan pegunungan-pegunungan yang menyejukkan sama kuantitasnya dengan saya menikmati film-film Box Office terbaru atau informasi-informasi tentang Reshuffle Kementrian. Saya menghidupi mimpi saya dan saya bersyukur dengan apa yang saya dapatkan."