Kamis, 19 Januari 2017

Di Tapal Batas Peradaban

Kuliah ke Jogja bisa dikatakan adalah mimpi saya sejak dulu. Ada dua hal yang menjadi daya tarik utama: kotanya dan kampusnya. Seperti yang telah saya tulis di salah satu postingan sebelumnya bahwa Jogja bukanlah sekadar sebuah kota, tapi Jogja adalah sebuah daerah istimewa yang di dalamnya tidak hanya berisikan orang-orang cerdas sebagaimana julukan yang disandangkan ke kota ini, yaitu Kota Pelajar. Tetapi kota ini juga berisikan orang-orang yang berkearifan lokal, mereka sangat santun, dan mereka juga dengan bangga menjaga kebudayaan yang dimilikinya, bukan justru kabur karena malu dengan nilai-nilai budaya yang melekat, nilai-nilai budaya yang cenderung berbau tradisional, tidak moderen. Itulah kenapa selain dijuluki sebagai Kota Pelajar, kota ini juga dijuluki sebagai Kota Kebudayaan.

Dari segi geografis, Jogja juga merupakan pusat atau sentral dari berbagai daerah di sekelilingnya, seperti: Sleman, Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, dan Magelang. Kota-kota tersebut tersebar mengelilingi Kota Jogja yang walaupun kecil, tapi istimewa. Jogja seperti induk bagi daerah-daerah satelit di sekelilingnya. Jogja seperti ibu dan daerah-daerah di sekelilingnya ibarat anak-anaknya yang berlindung di balik nama Jogja. Meskipun daerah-daerah tersebut sudah berpenghasilan mandiri melalui berbagai pariwisata, kuliner, dan kerajinan tangannya, tetapi itu semua tidaklah lengkap kehadirannya tanpa adanya Kota Jogja yang seakan menyatukan mereka semua.

Melalui kota ini, saya belajar betapa mahasiswa dapat bersanding, duduk bersama masyarakat dengan tetap mengedepankan adab sopan santun dan saling menghormati. Melalui kota ini saya belajar betapa pelajar, khususnya mahasiswa, dapat turut serta secara langsung terhadap pembangunan sebuah kota, baik itu dalam hal sumber daya manusianya ataupun dalam hal infrastruktur. Melalui kota ini, saya belajar betapa suatu kampus memiliki peran yang sangat vital bagi perputaran roda ekonomi di sebuah kota. Melalui kota ini, saya belajar betapa pemerintah sangat menghargai dan mendengarkan suara warganya. Tidak ada konflik yang terjadi melainkan sepenuhnya karena rasa cinta dan takut akan hilangnya keistimewaan dari kota ini. Melalui kota ini, saya belajar betapa orang-orang yang memiliki world class competence juga ternyata memiliki grassroot understanding di dalam hati mereka. Mereka berprestasi? Yes! Bahkan sampai tingkat internasional. Tapi, di sisi lain, mereka tidak pernah dan tidak akan pernah berhenti menyebarkan ilmunya. Mereka turun dan turut membantu masyarakat di pinggir Kali Code, membangun dan memperindah daerah tersebut tanpa keributan, tanpa ada yang tersakiti. Tidak hanya itu, mereka juga turut membantu sumber daya manusianya, mendidik anak-anak yang tinggal di daerah yang bisa dikatakan sebagai "tempat kumuh"-nya Jogja. Kalaupun seisi kota sudah tidak ada masalah yang perlu diselesaikan, mereka terus menyebarkan ilmunya, membagi ilmunya kepada masyarakat di daerah sekitarnya, seperti masyarakat Kulonprogo, Sleman, Gunungkidul, dan Bantul. Ini adalah potret kehidupan dimana pembangunan bukan sepenuhnya tugas pemerintah ataupun swasta, tetapi pembangunan adalah tugas semua komponen masyarakat. Seperti yang pernah disampaikan Anies Baswedan, bahwa mendidik merupakan tugas semua orang yang terdidik.

Alasan saya memilih kuliah di Jogja sebetulnya sangat sederhana, saya ingin melihat Indonesia lebih dalam. Saya ingin melihat para petani yang membajak sawah dengan kerbaunya. Saya ingin melihat hijaunya alam Indonesia. Saya ingin melihat keanekaragaman budaya yang ada dan juga merasakan ketentraman hidup di tengah keramah-tamahan rakyatnya. Di sini, saya dapat merasakan itu semua tanpa harus meninggalkan nuansa modernisasi perkotaan. Kenapa? Karena Jogja itu sendiri adalah kota, bahkan jauh lebih modern dibandingkan Depok, tempat asal saya.

Saya mungkin termasuk golongan orang-orang yang aneh, karena saya adalah anak Ibu Kota yang justru memilih untuk merantau ke luar. 500 km menjauh dari Ibu Kota. Bahkan tadinya jika saya tidak diterima di UGM, saya berencana kuliah lebih jauh lagi, yaitu di Malang. Ini semua bukan berarti saya membenci Ibu Kota. Bukan. Bagi saya, penting bagi kita untuk tetap keep in touch dengan pusat peradaban negeri ini. Hanya saja, seperti yang sudah saya jelaskan di awal, saya ingin mencari suasana yang berbeda. Menjauh dari suasana hiruk pikuk Ibu Kota yang hanya seputar Mall, gedung-gedung perkantoran, polusi, dan kemacetan. Sesekali, saya ingin hidup di tapal batas peradaban. Menghirup udara bersih, dan berada lebih dekat dengan masyarakat, khususnya kelas bawah. Saya hanya ingin ikut membajak sawah bersama mereka, ikut memanen sayur-sayuran bersama mereka, membantu mendidik anak-anak mereka, tanpa menghilangkan kewajiban saya untuk terus berprestasi di bidang akademik, tanpa menghilangkan kewajiban saya untuk berpendidikan tinggi. Tidakkah itu hal yang baik? Yang kita butuhkan adalah orang-orang yang tidak hanya memiliki world class competence, tapi juga memiliki grassroot understanding. Karena di luar sana, kita dapat menemukan begitu banyak orang yang memiliki world class competence, tapi knows nothing about grassroot. Sebaliknya, banyak sekali dari mereka yang memiliki grassroot understanding, tapi justru has no competence. Dan itu adalah tantangan bagi anak muda saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar