Rabu, 18 Januari 2017

Menaklukkan Merapi

Semuanya berawal dari kakak tingkat saya yang menjadi pemandu saya ketika ospek fakultas, atau mahasiswa FEB UGM menyebutnya dengan nama Simfoni. Kedua pemandu saya: Mba Anita dan Mas Aziz sangat berpengaruh dalam kehidupan saya di UGM dan keputusan berorganisasi yang saya ambil atau lebih tepatnya telah saya ambil di masa perkuliahan ini. Saya masuk organisasi Syariah Economics Forum karena diajak oleh Mas Aziz dan saya pun mendaki Merapi saat itu karena diajak Mba Anita. Saat itu, saya masih menjadi mahasiswa baru di FEB UGM, perasaan saya sangat senang. Senang karena berkuliah di salah satu kota terbaik di Indonesia dan salah satu universitas terbaik di Indonesia. Ketika mendengar Palmae mengadakan acara Fun Hiking saya pun merasa tertarik. Kala itu saya masih semester 1, lebih tepatnya bulan ke-4 berkuliah. Beberapa teman saya menyarankan saya untuk tidak mengikuti pendakian tersebut karena dirasa masih terlalu dini. Tapi, karena rasa excited saya, saya pun tetap memutuskan untuk berangkat meskipun saya tidak punya teman sama sekali kecuali Mba Anita sebagai mantan pemandu saya.

Kemudian, qodarullah saya dipertemukan dengan Ainur Rafiq, salah satu teman saya di FEB yang dulu sangat dekat tetapi sekarang sudah tidak terlalu dekat. Saya meminjam segala peralatan hiking dari mulai carier, jaket, kupluk, matrass, dan lain-lain. Tetapi, ada satu yang tidak dipinjamkan karena sudah dipinjam oleh orang lain, yaitu sleeping bag. Saya yang tidak mempunyai pengalaman mendaki sekalipun, pada saat itu, merasa bahwa tidak adanya sleeping bag bukanlah perkara besar. Akhirnya saya pun berangkat dengan perlengkapan yang lengkap, kecuali sleeping bag.

Meeting Point : FEB UGM.
Saya berjalan kaki dari rumah menuju meeting point dengan beberapa pertimbangan, salah satunya adalah karena saya bingung harus menitipkan motor selama 2 hari 1 malam ke mana. Alhasil, saya memutuskan berjalan sekitar 3 km dari rumah menuju kampus. Sesampainya di meeting point, saya langsung disambut oleh beberapa kakak tingkat yang tentunya sama sekali tidak saya kenali, sebelum akhirnya beberapa di antara kami masih akrab sampai sekarang dan ada yang sudah menikah pula. Lalu, tak lama datang seorang mahasiswa baru yang sepantaran dengan saya, namanya Firman. Ia adalah rekan seperjuangan pertama saya dalam mendaki. Dia adalah orang (aduh lupa, Medan kayaknya) Medan, seorang finalis OSN yang tidak terlalu kutu buku dan sampai saat ini kita berdua masih berteman sangat dekat. Lalu tak lama Mba Anita datang dan singkat cerita beliau mengetahui bahwa saya tidak membawa sleeping bag. Akhirnya saya disuruh pergi menggunakan motornya ke suatu tempat untuk menyewa sleeping bag. Saya pun mau ga mau harus menuruti perintahnya walaupun pada akhirnya saya tidak menemukan di mana tempat yang dimaksud. Alhasil saya kembali dengan tetap tidak memiliki sleeping bag. Mengetahui hal tersebut, orang-orang santai menanggapi dan salah satu kakak tingkat saya (laki-laki) ada yang mengatakan "Nanti kita satu sleeping bag berdua aja, dhit." Saya pun merasa lega mendengar kalimat itu.

Keberangkatan.
Kami pun berangkat sekitar jam 4 sore, saya diplotting naik motor digonceng oleh seorang kakak tingkat angkatan tua. Dan untungnya motornya adalah motor semacam Vixion sehingga dalam perjalanan motornya tidak terlalu ngeden saat menanjak dan tidak menyiksa bokong saya. Perjalanan cukup jauh, sempat nyasar di tengah jalan karena ternyata tidak ada satupun dari belasan orang di antara kita yang pernah mendaki Merapi sebelumnya. Lalu singkat cerita kami pun sampai di daerah Selo. Saya masih sangat ingat daerah tersebut, sangat indah, jalannya halus, pemandangannya sangat indah, ada kabut ringan, dan pokoknya tidak terlupakan lah. Kami sempat beristirahat di masjid dan kemudian kembali berhenti sejenak di suatu tempat dengan pemandangan puncak Gunung Merapi secara langsung. Saya pun hanya bengong takjub dan seakan tidak percaya kalau saya akan mendaki hingga berdiri di atas sana.

New Selo.
Saya lupa apa itu New Selo, kalau tidak salah ini adalah pos pertama. Tempat kendaraan bermotor harus berhenti dan dititipkan di sana. Yang saya senangi adalah di tim keberangkatan kami, para wanitanya sangat perhatian dan benar-benar mengecek kondisi kami apakah lapar atau tidak. Di pos tersebut agenda kami adalah memastikan tubuh kita kuat, sudah makan, dan sudah shalat. Maka, pada saat itu adalah kenangan pertama saya merasakan kenikmatan Pentol. Pentol adalah bakso kecil-kecil yang dimakan dengan campuran saus dan kecap. Dan saat itu, pertama kali saya merasakan Pentol itu enak sekali, sehingga sampai sekarang Pentol memberikan impresi enak bagi saya walaupun pernah saya temui Pentol yang ga enak (di pantai Parangtritis, sumpah Pentolnya gaada yang enak). Kemudian kami sholat maghrib sekaligus Isya dengan kondisi yang mulai dingn. Setelah itu kami pun bersiap untuk berangkat. Ketika hendak ingin berangkat, saya ditegur oleh seorang mba-mba dari tim kami. Ia menyarankan agar saya tidak memakai jaket agar badan saya terbiasa dulu dengan udara dingin, akibat dari saya tidak membawa sleeping bag maka saya harus tahan dengan dingin.

Perjalanan Menuju Pasar Bubrah.
Kami pun berangkat. Jalur pendakian sesuai ekspektasi, menanjak tinggi. Beberapa orang yang pernah mendaki mengatakan bahwa jalur pendakian ini jauh lebih curam jika dibandingkan merbabu. Kami terus mendaki bersama-sama, sesekali ada pendaki lain yang lewat sambil menyetel lagu dangdut kencang. Saya masih sangat ingat, karena momen tersebut antara mengganggu dan menyelamatkan juga. Mengganggu karena saya benci dangdut dan berisik banget. Menyelamatkan karena suasana jadi ramai dan bersemangat, serta menandakan bahwa yang susah tidak hanya kita-kita saja tapi juga ada orang lain. Sesekali saya iseng mengarahkan senter ke arah pepohonan, seperti pohon pisang dan lainnya semata-mata berharap melihat penampakan, tetapi tidak ada satupun penampakan yang muncul. Kami terus mendaki ditemani gemuruh suara pepohonan yang tertiup angin kencang dan bulan purnama yang sangat indah, jalanan tanah pasir yang kering membuat debu yang sangat mengganggu sepanjang perjalanan. Perjalanan tersebut berlalu dengan rasa kantuk yang sangat tinggi, saya ingat sesekali saya mendahului rombongan hingga sekitar 50 meter di depan agar bisa duduk sambil tidur hingga menunggu mereka menyusul saya. Itu saya lakukan beberapa kali, karena perjalanan kami berlangsung malam hari hingga larut demi mengincar sunrise esok pagi.

Pasar Bubrah.
Sesampainya di Pasar Bubrah, yang saya rasakan pertama kali adalah suhu yang berubah drastis. Dingin yang sangat menusuk kulit bagaikan jarum, ditambah lagi rasa kantuk yang memuncak, jalanan berbatu, angin kencang tanpa ada satu pohon pun yang menghalau, membuat saya berjalan dengan sempoyongan. Kami sampai puncak tidak bersama-sama, dari sekitar 12 orang, kami kehilangan 2 orang yang entah dimana mereka, salah satunya pun membawa tenda sehingga membuat saya sangat stress saat itu. Saya semakin stress ketika melihat lapak tenda yang nampaknya sudah habis dihabiskan oleh orang-orang yang lebih dulu sampai puncak daripada kami. Tidak ada lapak kosong, kalaupun ada pasti itu bebatuan keras yang kita tidak mungkin mendirikan tenda di atasnya. Alhasil saya, Firman, dan beberapa kakak tingkat yang sudah sangat tidak kuat pun langsung duduk menghangatkan diri dan berharap agar 2 orang yang berpencar itu segera ditemukan. Kala itu saya sangat tidak kuat, dingin yang benar-benar sangat menusuk bagai jarum. Semua pakaian yang saya punya sudah saya kenakan, baju berlapis 3 ditambah jaket, kaus kaki pun saya double tetapi dingin itu terus menusuk hingga membuat ujung jari kaki saya seakan mati.

Inilah momen yang paling memorable dalam pendakian pertama saya ini. Saya ingat betul saya sedang berlindung dibalik batu yang agak besar, kemudian menindih batu tersebut dengan tas kerier saya agar angin yang berhembus dapat sedikit terhalang. Tetapi cara tersebut sama sekali tidak berpengaruh, angin datang dari segala arah berhembus dengan kencang. Saya pun terus melipat tubuh saya sambil tiduran di atas batu tanpa mengetahui dan tanpa peduli dimana rekan-rekan saya yang lainnya. Hingga akhirnya saya tertidur dan 2x terbangun. Pertama, saya terbangun ketika ada seorang mba-mba yang saya yakin dia berasal dari tim saya tetapi saya tidak terlalu familiar dengan wajahnya. Dia bagaikan seorang Ibu dan saya anaknya, dia menengok saya, menanyakan bagaimana yang saya rasakan, kemudian membuka matras yang saya bawa dan menyelimutkannya di atas tubuh saya. Lalu dia berkata, "tunggu ya, sebentar lagi kita bikin tenda."

Jangan berpikir saya sudah merasa hangat saat itu, sama sekali tidak. Setiap kali terbangun, setiap kali itu pula saya merasakan dingin yang sangat menusuk hingga membuat saya menangis, beristighfar, dan saking depressnya saya berkata "aduh mati gua nih sumpah.. mati konyol gua kalo kayak gini...". Dan setelah momen mba-mba menyelimuti saya itu, tak lama saya kembali tidur hingga saya kembali dibangunkan oleh seorang mba-mba entah apakah orang yang sama atau bukan (karena malam itu saya sangat lelah dan kondisi sangat gelap). Ia menyuruhku untuk masuk ke dalam tenda, sebelumnya saya mencari kerier saya yang tidak ada tapi mba nya bilang bahwa kerier saya sudah dimasukkan ke dalam tenda, maka saya pun langsung bergegas menuju tenda.

Saya langsung masuk ke dalam tenda yang di dalamnya sudah diisi oleh beberapa orang yang menggunakan sleeping bag. Saya tanpa bisa melihat dengan jelas langsung merangkak ke arah seseorang yang tidur tidak memakai sleeping bag dan saat itu kondisi sudah lebih hangat tetapi dingin masih sangat terasa. Yang saya butuhkan saat itu adalah tidur secepat mungkin agar saya tidak merasakan dingin yang menusuk tubuh ini. Dan saya pun berhasil tidur dengan susah payah.

Pagi hari menuju Puncak Merapi.
Pukul 4 pagi, saya terbangun karena suara yang cukup ramai di luar dan kakak tingkat saya yang membangunkan seisi tenda untuk menawarkan naik ke puncak. Saya terbangun dengan kondisi di kiri saya adalah perempuan, dan di kanan saya juga perempuan. Dan ini adalah kali kedua saya dengan tidak sengaja tertidur di sebelah perempuan. Pengalaman pertama saya adalah ketika acara Ubersocial di Villa-nya TDS alias Tiara Darmashanti. Waktu itu saya tertidur di depan tv sambil memegang remote karena tadinya hendak menonton sepak bola, tetapi kemudian saya tidur dan pagi harinya saya bangun sebelum orang-orang bangun. Dan saya sangat kaget karena saya tidur bersebelahan dengan seorang perempuan. Jadi... jangan salahkan saya karena saya memang tidak bersalah.

Lanjut, benak saya beradu antara mau berangkat ataupun tidak. Hingga akhirnya saya pun merasa tubuh saya mampu untuk berangkat ke puncak. Yang saya butuhkan adalah banyak bergerak agar tubuh saya terasa hangat. Dan benar saja, saat itu saya bangun, buang air kecil, dan tubuh saya langsung mulai terbiasa dengan kondisi dingin ini. Kami pun berangkat, dan saya sempat shock karena ternyata yang ikut berangkat hanya 5 orang, senior-senior yang sudah tua malah tidak naik ke puncak karena mereka kelelahan semalaman naik dengan membawa beban yang sangat berat. Alhasil kami berlima naik, 4 anak non-Palmae dan 1 anak Palmae. Tapi, tak lama berjalan 1 senior dari Palmae ini tertinggal di belakang dan akhirnya kembali ke tenda. Tersisalah 4 orang yang bukan anak palmae, yaitu saya, Firman, seorang kakak tingkat berkacamata yang saya lupa namanya, dan satu lagi Mas Andi yang sekarang sudah menikah. Kami membawa 1 tas yang isinya makan dan minuman, saya yang membawanya. Pendakian dari Pasar Bubrah menuju puncak inilah yang benar-benar terasa feel naik gunung. Persis seperti film 5cm ketika ada batu yang menggelinding dan lain sebagainya.

Sebelum sampai puncak, matahari terbit. Tapi kami sudah berada dalam posisi yang sangat tinggi, nampak tidak ada lagi yang setara dengan kami kecuali gunung Merbabu di belakang kami. Itulah sunrise terindah dalam hidup saya, sunrise yang tidak mampu dibayar dengan harga berapapun, sunrise yang mampu membayar segala lelah, kedinginan yang selama ini dirasakan. Kami berhenti untuk berfoto-foto sejenak. Mengabadikan momen berharga ini.

Kemudian kami berjalan lagi. Matahari mulai naik dan kami belum juga sampai di puncak, jaket yang kami pakai sudah mulai kami lepas lagi karena kondisi sudah tidak sedingin tadi pagi. Sekitar 100 meter menuju puncak kami pun break sebentar, sekitar pukul 6:15 pagi. Saya duduk, membuka tas, mengeluarkan air dan memakan persediaan yang ada sambil menunggu 2 rekan yang tertinggal beberapa meter di bawah kita. Kemudian mereka berada di satu ketinggian yang sama, tetapi tidak dapat mendekat karena kontur lereng yang berbatu dan tidak rata membuat kami bagai berada di dua jalur terpisah. Saya dan Mas Andi, Firman dan mas yang satu lagi. Untuk memberikan minum pun saya harus melempar botol 1,5 liter tersebut ke mereka.

Setelah selesai sarapan, kami langsung berangkat lagi menuju puncak. Dan tak berselang lama, kami pun sampai di puncak merapi. Puncak merapi bisa dibilang cukup sempit, mundur sekitar 3-5 langkah maka Anda bisa langsung terperosok ke lereng gunung yang cukup curam. Terlihat pula kawah dengan diameter yang sangat lebar, kita tidak bisa mengeliling kawah tersebut karena selain lebar, di sisi lain gunung ini pun ada bekas longsoran, sehingga kita tidak bisa melaluinya. Memang puncak dan lereng gunung ini benar-benar berisikan pasir dan batu. Ketika kami mendaki tadi ada satu momen dimana ada batu yang jatuh dan kami harus menghindar, dan itu tidak hanya sekali.

Gunung ini sudah sejak lama terngiang di kepalaku, ketika kudengar kata Jogja maka gunung inilah yang ada di pikiranku. Maka, saat itu adalah momen yang sangat berharga. Sebuah kehormatan yang sangat mendalam bagi saya untuk bisa berdiri di puncak Gunung Merapi dan mengibarkan bendera merah putih di atasnya. Perjalanan yang sungguh tak terlupakan. Perjalanan yang kelak akan saya ceritakan kepada anak cucu saya.

**Perjalanan pulang tidak diceritakan. Tapi yang perlu diketahui adalah bahwa perjalanan pulang jauh lebih membuat kaki lelah. Sangat lelah, walaupun lebih cepat. Saya baru shalat subuh sekitar pukul 7:30 pagi di dalam tenda karena saya benar-benar baru ingat belum shalat subuh. Rekan-rekan saya yang lain? Saya tidak tahu apakah mereka sudah shalat atau belum dan saya tidak menanyakannya. Dan di perjalanan pulang kami benar-benar terpisah. Saya terpisah seorang diri, sehingga saya turun gunung benar-benar seorang diri. Kaki yang sangat lelah menopang tubuh, kerier yang sangat berat, serta jalan tanah berpasir yang licin dan berdebu membuat saya selalu terjatuh di setiap beberapa langkah. Tetapi kami semua berhasil mencapai bawah kembali dan pulang dengan selamat. Yang perlu diingat adalah bahwa naik gunung bukan soal naik saja, tapi juga soal turun dari gunung tersebut. Keduanya sangat melelahkan.

Berikut foto-fotonya:

Kiri ke Kanan : Saya, Mas Gatau namanya, Mas Andi (yang sekarang udah nikah dan lagi S2 di Norway kalo ga salah), dan Firman Army (temen seangkatan saya).

 Sunrise Sebelum sampai Puncak. Bahagia banget.

 Ini Puncak Merapi Loh! Gunung yang waktu itu meletus!

 Muka ini menunjukkan rasa lelah yang amat sangat tidak dapat disembunyikan lagi.

Backgroudnya Sumbing & Sindoro, Merbabu ada di kanan ga masuk frame. 

 Jempol buat sunrise sekeren ini.

Pose keren nahan panas dan lelah sebelum turun. 

Nih bayangin medannya kayak gini. Sarapan snack di atas batu-batu kayak gini. Dan lempar aqua 1,5 liter antar tebing kayak gini.