Senin, 17 April 2017

Menghapus Akun Sosial Media (Updated)

Sebelumnya, saya udah berpikir cukup panjang apakah benar-benar akan menuangkan alasan-alasan tersebut ke sebuah tulisan atau tidak. Karena pada dasarnya kita semua memiliki sikap dan tujuan yang berbeda-beda terhadap sosial media kita masing-masing. Ada yang mungkin benar-benar addicted seperti saya, ada pula yang mungkin "don't give a shit" terhadap apa yang dia lihat di feeds-nya. Ada pula yang memang tujuan akun instagramnya untuk sharing foto-foto keren, ada yang ingin keep in touch dengan teman-temannya, ada yang fokus mencari berbagai informasi, mencari jodoh, atau mungkin ada pula yang sengaja ingin memamerkan seluk beluk kehidupannya. Jadi, ya tergantung.

Saya memutuskan untuk menghapus akun saya sebenarnya sudah terpikirkan sejak lama. Ada beberapa faktor yang membuat saya pada akhirnya memutuskan pada sekitar 2 minggu yang lalu untuk benar-benar menghapus akun tersebut. Sebelumnya, percobaan untuk menghapus akun tersebut tidak hanya sekali saya lakukan. Pertama kali saya coba, saya menemukan kesulitan untuk menghapusnya karena satu dan lain hal hingga pada akhirnya saya menyerah dan terus mempertahankan akun instagram saya. Kedua kali saya mencoba, saya sudah sampai pada titik ketika saya bisa menghapus akun instagram tersebut dan hanya tinggal diklik saja. Namun, akhirnya saya masih ragu-ragu dan tetap mempertahankan akun instagram tersebut. Ketiga kali saya mencoba, saya kembali mengalami kesulitan dan tidak bisa menghapus akun tersebut. Hingga akhirnya saya hubungi salah seorang teman saya yang pernah menghapus akun instagramnya (terus bikin lagi kalo dia). Lantas, dia seketika mengulurkan pertolongan kepada saya agar sore itu biar dia saja yang menghapus akun saya tersebut. Yowes, saya berikan username dan password saya dan boom.... hilang seketika akun saya.

Satu hal yang perlu kalian ketahui adalah: bahwa menghapus sebuah akun sosial media dimana sebelumnya Anda sangat bergantung padanya, tempat Anda sharing kegiatan Anda, tempat Anda berkomunikasi dengan teman-teman Anda bahkan yang berada di luar negeri sekalipun, tempat Anda menghibur diri Anda sendiri sehari-harinya, tempat Anda curhat, dan lain-lain, itu tidaklah semudah yang Anda pikirkan. Di awal memang nampak seperti "okay, it's gone.", tapi kemudian akan mulai bermunculan perasaan-perasaan menyesal seperti "kenapa ga temporaily aja deletenya?", "kenapa begini....?", "kenapa begitu....?", dan lain-lain. Maka, butuh alasan yang sangat kuat jika memang Anda memutuskan untuk menghapus akun sosial media Anda dan butuh mental yang kuat pula karena setelah akun tersebut terhapus, yakinlah di pikiran Anda akan tergulir bisikan-bisikan yang membuat Anda merasa menyesali perbuatan tersebut.

Lantas, apa alasan saya menghapusnya? Btw, ini alasan saya murni lho ya. Saya ga akan memfilter alasan-alasan saya hanya demi kenyamanan pembaca, okay? And I don't give a shit about what people think of me~

1. Perasaan Takut
Sebenarnya perasaan yang saya maksud di sini sangatlah umum. Tapi, karena perasaan-perasaan yang umum tersebut cenderung membuat saya menjadi unhappy dan uncertainty, bikin labil lah pokoknya. Maka, perasaan-perasaan tersebut saya gabung jadi satu lewat satu kata, yaitu takut.

Saya adalah manusia yang hidup di abad ke-21 dan saat ini sedang berusia 21 tahun. I mean, ini adalah usia proses bagi kebanyakan orang. Kebanyakan teman-teman saya yang berada di usia ini, mereka masih berkuliah dan masih membangun cita-citanya. Ada yang sering sekali meng-update kegiatan sehari-harinya bersama teman-temannya, ada yang meng-update sedang belajar, sedang kuliah, sedang pergi ke suatu tempat, sedang berada di seminar ini dan itu, sedang foto bersama profesor ini dan itu atau artis ini dan itu, dan lain-lain. Satu kenyataan yang tidak terlihat dari fenomena ini adalah perasaan iri ataupun hasad yang muncul pada diri saya. Saya menyadari bahwa ini semua membuka ruang bagi setan untuk masuk ke dalam diri saya. Dan believe me, in the end, it could drives me crazy, even sometime i can simply against my own ambitions  and i can't recognize myself anymore. Seringkali karena ini semua, saya menjadi lupa siapa saya sebenarnya, saya sudah sampai di mana, apa yang ingin saya tuju, simply karena distraksi-distraksi yang ada di instagram tersebut. Distraksi-distraki tersebutlah yang membisikkan ke telinga saya pertanyaan-pertanyaan seperti: "Dhit, tuh lihat mereka...", "Dhit, masa lo hari gini cuma kayak gini....", "Dhit, payah banget sih....". And I can't help it.

Saya tidak menyalahkan siapapun atas kejadian ini. Di awal sudah saya jelaskan bahwa ini tergantung pada diri kita masing-masing dalam menyikapi sosial media kita, termasuk konten-konten yang ada di dalamnya. Sedangkan saya, saya hanya ingin hidup terbebas dari perasaan takut ini semua. Perasaan takut yang muncul lewat bisikan-bisikan tersebut, yang membangkitkan rasa hasad dan rasa iri dalam diri saya. Ketika saya sedang belajar, saya ingin membuka instagram. Ketika saya hendak tidur, saya membuka instagram. Ketika saya bangun tidur, saya buka instagram. Ketika saya hendak bepergian ke suatu tempat, saya membuka instagram. Ketika saya mendapat kabar bahagia, saya membuka instagram. Ketika saya sedang merenungi sesuatu, saya membuka instagram. Lengkap sudah, Instagram ini benar-benar melilit diri saya. Perasaan-perasaan hasad dan iri tersebut seakan muncul sebagai stimulus atau perangsang bagi diri saya untuk bisa bertahan di Instagram dengan senantiasa mengupdate kegiatan-kegiatan saya. Tujuannya apa? Bukan lagi karena orang lain butuh informasinya, melainkan karena ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa kehidupan kita sendiri tidak berbeda bahkan lebih berwarna daripada kehidupan mereka.

2. Biesta Adri Azizi
Ada yang kenal dengan nama di atas? Ya, dia adalah salah seorang adik kelas saya. Dulu, dia adalah adik kelas saya di SMAN 1 Depok, dan kini dia menjadi adik tingkat saya di Fakultas Kedokteran UGM.

Semuanya berawal dari suatu hari ketika saya sedang melihat video ceramahnya ustadz Budi Ashari di Youtube. Melihat video-video dakwah di Youtube adalah kebiasaan saya, apalagi video ustadz Budi Ashari dimana beliau sangat paham di bidang Sirah Nabawi (Sejarah Nabi), yang merupakan bidang favorit saya. Hingga saya sampai berpikir bahwa tidak ada lagi orang di antara teman-teman saya yang paham tentang Sirah Nabawi lebih dalam dibandingkan saya. Jujur. Karena saya suka sekali membaca buku Sirah Nabawi ataupun mendengarkan kajian-kajian ustadz Budi Ashari di Youtube yang selalu menyinggung-nyinggung tentang Sirah Nabawi atau kisah-kisah di saat Nabi Muhammad masih hidup bersama para sahabatnya.

Namun, ada hal lucu ketika saya melihat video tersebut. Ada satu pemandangan yang membuat saya merasa benar-benar tertampar. Bukan karen kajiannya, melainkan karena ketika kamera sedang mengarah ke audience, di situ saya melihat sosok teman saya, Biesta, sedang mengaji seorang diri dengan sangat serius. Saya sempat sangat shock di awal. Dan saya tertampar betul karena beberapa alasan: (i) Saya sering berdiskusi dengan Biesta, salah satunya tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Kami berdua bersama beberapa laki-laki SMAN 1 Depok saat ini punya program pertemuan untuk belajar bahasa arab tiap minggunya dan Biesta ditunjuk sebagai gurunya karena memang sangat capable. Saya, dalam berdiskusi dengan dia dan teman-teman saya lainnya, terang-terangan mengatakan bahwa saya sangat update dengan kajian-kajian Sirah Nabawi, dan cukup dekat dengan ustadz Budi Ashari baik dalam mengikuti kajian secara langsung dengannya ataupun hanya menonton di Youtube. Namun, saat itu apa yang terjadi? Dia yang selama ini diam dan ngangguk-ngangguk saja terhadap nasihat-nasihat saya yang berdasar pada Sirah Nabawi, ternyata selama ini berada jauh di depan saya. Saya yang hanya merupakan seseorang penuntut ilmu lewat Youtube, dihadapkan langsung dengan dia yang berada di tengah kajian tersebut. Saya juga ingat kajian itu adalah kajian yang berlangsung pada Ramadhan tahun lalu dan saya tidak hadir karena memilih untuk melakukan aktivitas lain, sedangkan dia hadir langsung ke kajiannya.

Poin yang saya maksud sebenarnya adalah tentang tamparan tersebut. Ibarat Anda misalnya sangat cinta pada drama-drama Korea dan selalu menceritakan progress drama tersebut kepada seorang teman Anda. Lalu, teman Anda hanya mengangguk-ngangguk menyimak progress yang Anda ceritakan. Hingga tiba-tiba Anda menonton sebuah episode dimana teman Anda tersebut berada di dalam drama korea yang sedang Anda tonton, menjadi lawan main dari artis yang Anda puja-puja dan selalu Anda ceritakan kepada teman Anda tersebut. Gimana rasanya? Tertampar, kah? 

(ii) Saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri: "Gimana bisa di dunia abad ke-21 ini masih hidup sosok orang-orang yang mengerjakan sesuatu tanpa perlu pamer kepada orang lain?". Bagaimana bisa ada seseorang yang hidup di zaman ini dan bisa fokus begitu saja menuntut ilmu tanpa perlu update atau mengupload kegiatannya tersebut ke sosial media? Bagaimana bisa ada orang-orang seperti itu? Setelah saya melihat langsung kejadian terebut, saya kembali membulatkan tekad bahwa saya bisa hidup dengan bebas tanpa instagram. Saya bisa fokus menuntut ilmu. Saya bisa lebih ikhlas dalam menjalani apapun tanpa harus khawatir bagaimana balasan dari teman-teman saya. Saya bisa lebih nyaman dalam menjalani aktivitas dan beribadah, tanpa perlu mengkhawatirkan persepsi orang lain terhadap diri saya.

3. Kisah-Kisah yang ada di Sirah Nabawi.
Saya dan Biesta adalah dua orang yang sepakat bahwa Sirah Nabawi adalah buku yang harus dibaca oleh setiap orang muslim, baik dia berilmu ataupun tidak. Kenapa? Karena di Sirah Nabawi lah kita tahu gambaran Rasulullah itu seperti apa, bagaimana Beliau menjalani kehidupan sehari-harinya, masalah apa saja yang ada, kondisi lingkungan internal dan eksternalnya seperti apa, seberapa jahiliyahnya zaman tersebut, sebijakasana apakah Rasulullah dalam berucap ataupun dalam menyelesaikan permasalahan. Semua ada di situ. Maka, orang muslim yang berilmu (dalam hal Muamalah atau Fiqh atau lainnya), jika ia tidak melengkapi dirinya dengan gambaran Sirah Nabawi (gambaran tentang bagaimana Rasulullah menjalani kehidupannya dulu), ia tidak akan bisa bijaksana dalam mengamalkan ilmunya, baik itu kepada dirinya sendiri ataupun kepada orang lain. Sedangkan orang yang tidak berilmu, jika ia tidak mengetahui gambaran bagaimana exactly Rasulullah menjalani kehidupannya dulu, ia akan hanyut dalam kehidupan dunia ini dan tanpa sedikitpun merasa bersalah akan berucap: "Itu kan ajaran Islam jaman dulu, hari ini kondisi udah berubah".

(i) Lihat kisah bagaimana umat muslim di zaman Rasulullah hidup, ketika muslimin disiksa habis-habisan oleh masyarakat Quraisy dan di sisi lain mereka tidak boleh membalas siksaan-siksaan tersebut. Kenapa? Karena turun perintah dari Allah melalui Rasulullah, perintah yang mengatakan untuk "menahan tangan-tangan umat muslim". Maksudnya adalah agar umat muslim tidak membalas siksaan-siksaan dari mereka. Di kisah ini, orang yang tidak berilmu akan mengatakan "kenapa ga dibales itu coy! Bego banget sih itu kan lagi disiksa kok malah ga dibales!", tapi orang yang berilmu akan memilih untuk mengikuti ucapan Rasulullah. Orang berilmu akan berpikir "biarlah kami disiksa dan kami tidak akan membalasnya selama Rasulullah melarang kami membalasnya. Biarlah Allah ganti siksaan ini dengan Surga bagi kami, dan jikalau kami mati karena siksaan ini, kami akan syahid dengan ganjaran Surga.". Kalau kita baca Sirah Nabawi, kejadian ini memang aneh karena Rasul melarang umat muslim membalas siksaan yang dilakukan kaum Quraisy. Tapi, ada pesan yang hendak disampaikan melalui sikap ini: bahwa Rasulullah ingin menguji umat muslim apakah taat kepada pemimpinnya atau tidak. Apakah keislaman mereka benar-benar islam yang seutuhnya atau hanya di bibir saja, di sini mereka diuji. Lalu, lihat apa yang terjadi puluhan tahun kemudian. Mereka yang dulunya sangat menaati Rasulullah dan menaati aturan Islam, puluhan tahun kemudian tersebar menjadi pemimpin-pemimpin yang adil di berbagai penjuru dunia. Tidak hanya Mekkah, tapi di berbagai penjuru dunia. Mereka yang patuh kepada pemimpin sekalipun tersakiti, kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin hebat yang adil bagi rakyat-rakyatnya. Itu pesannya.

(ii) Lihat juga kisah ketika muslimin yang hendak melakukan tawaf di Mekkah disindir-sindir oleh petinggi-petinggi Quraisy. Kenapa? Karena di Sirah Nabawi dijelaskan bahwa Madinah, tempat umat muslim berada, dulunya adalah tempat yang penuh dengan wabah penyakit. Wabah penyakit tersebut dinamakan dengan Demam Madinah. Orang-orang seperti Bilal bin Rabah dan Abu Bakr Ash Shiddiq pernah terkena wabah penyakit ini, hingga Rasulullah mendoakan kesembuhan bagi keduanya dan berdoa agar wabah penyakit tersebut dihilangkan dari Madinah. Lalu, ketika umat muslim tersebut hendak tawaf di Masjidil Haram dan disindir-sindir oleh petinggi Quraisy dengan sindiran-sindiran seperti: "Tuh lihat.. orang-orang penyakitan mau tawaf. Paling dua puteran juga ga kuat.". Lalu, lihat pula bagaimana Rasulullah menjawab sindiran-sindiran orang Quraisy tersebut. Rasulullah justru menyuruh umat muslim yang hendak melakukan tawaf tersebut untuk berlari di tiga putaran pertama. Ini yang kemudian menjadi salah satu sunnah dalam melakukan tawaf, yaitu sunnah Raml yang berarti berlari-lari kecil dari sudut Hajar Aswad hingga sudut Rukun Yamani. Belum selesa sampai di situ. Lantas, apa lagi yang dilakukan Rasulullah? Rasulullah menyuruh umat muslim yang laki-laki agar menurunkan sedikit baju ihramnya yang sebelah kanan dan menunjukkan lengan kanannya. Apa tujuannya? Tujuannya agar orang-orang Quraisy melihat bahwa inilah umat muslim yang mereka sindir-sindir karena penyakitan, justru saat ini sedang berlari-lari mengelilingi ka'bah sambil memperlihatkan tangan kanannya yang berotot. (Kisah detilnya jauh lebih menarik namun sulit untuk saya tuliskan, akan lebih asik jika disampaikan langsung lewat ucapan)

(iii) Lihat pula kisah bagaimana orang kaya seperti Abdurrahman bin Auf menangis ketika hendak memakan sebuah roti yang enak. Ketika hendak memakan roti tersebut, Abdurrahman bin Auf sambil menangis berkata (kurang lebih): "dulu Rasulullah sampai wafatnya tidak pernah makan roti seenak ini, tapi hari ini aku dapat memakan ini dengan begitu nyamannya. Aku khawatir bahwa kebaikan-kebaikanku telah Allah balas dengan kenikmatan di dunia ini."

Tiga kisah tersebut saya masukkan ke tulisan ini sebagai tiga sudut pandang dari tiga hal yang saya temui di instagram. Apa saja ketiga hal itu: (i) suffering, (ii) cara mengatasi, dan (iii) pamer kenikmatan. Pertama, kita sebagai umat muslim jangan justru mengeluh di instagram. Mengeluh karena sedang kesusahan skripsi, mengeluh karena ban bocor, mengeluh karena sedang UTS, mengeluh karena banyak tugas sehingga baru bisa tidur jam 2 pagi, mengeluh karena sudah tiga bulan belum liburan ke pantai, dan sebagainya. Shut up! Inilah yang saya bilang ketika orang tidak berilmu akan terhanyut dalam dunia ini dan kebingungan tentang jati diri islam itu sendiri. Lihat di kisah pertama bagaimana suffering yang dialami umat muslim hari ini, disiksa dengan tindihan batu di terik siang hari hingga kulit melepuh. Ada yang sampai kulitnya mengelupas dan tubuhnya terbelah menjadi dua. Lalu, siksaan apa yang kita terima hari ini? Kok bisa hanya karena belum ke pantai dalam kurun waktu dua bulan terakhir hingga membuat kita mengeluh dan menangis-nangis di Instagram? Dan orang-orang yang mengeluh pun bukan orang-orang bodoh, melainkan para mahasiswa dari jurusan terbaik dan universitas-universitas terbaik se-Indonesia. Cukuplah sudah. Kita sudah terlalu terhanyut ke segala hal yang dikemudikan oleh orang-orang barat hari ini. Dan izinkan saya untuk berpesan sedikit kepada Anda: bahwa tidak ada yang namanya terlambat. Kita bisa sama-sama mulai mempelajari Islam toh saya juga masih sama-sama belajar. Kita lihat lagi bagaimana dulu ketika dunia ini dikemudikan oleh pemimpin-pemimpin muslim. Kita lihat lagi bagaimana cara pandang yang benar terhadap kehidupan ini. Kenapa? Karena penyesalan itu sakit sekali. Bayangkan jika kita justru terbangun di alam kubur dan menyesal bahwa ternyata kehidupan yang benar adalah kehidupan yang berdasarkan aturan Islam. Jika demikian, itu adalah seburuk-buruknya penyesalan. Karena kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan hanya bisa menyesali apa yang sudah kita perbuat.

Lalu, terkait dengan mengatasinya. Lihat, melalui kisah kedua bagaimana Islam memberitahu kita cara menunjukkan jati diri kita di hadapan orang lain. Islam zaman dulu dan hari ini sama-sama selalu dikaitkan dengan "orang-orang lapar", penyakitan, tertindas, dan lain-lain. Lalu, Rasulullah justru menyuruh kita untuk menunjukkan kekuatan kita di hadapan mereka semua. Selama mereka melihat kita, tunjukkan bahwa kita adalah orang yang kuat dan hebat. Sampai-sampai orang lain berpikir "gile ini orang ga ada matinya". Tunjukkan kekuatan kalian dan jangan justru mengeluh dengan apa yang dihadapi. Semua orang menghadapi berbagai masalahnya masing-masing dan itu adalah bagian dari kehidupan. Tidak ada kehidupan yang berjalan tanpa masalah. Maka, tunjukkan bahwa kita sebagai umat Islam itu kuat, tidak seperti apa yang mereka pikirkan terhadap kita. Sekalipun karena kekuatan itu, membuat kita ketika masuk ke dalam kamar kita masing-masing, langsung tepar karena kelelahan.

Terakhir, melalui kisah ketiga, kita belajar tentang pamer. Banyak kisah sebenarnya tentang harta dan kemewahan yang dihadapkan dengan umat Islam. Hanya saja, perlu diketahui melalui kisah tersebut bahwa orang sekaya Abdurrahman bin Auf pun menangis ketika ia terus menerus menjadi orang kaya dan tidak bisa miskin. Poin yang saya maksud adalah: it's okay kalau kita hari ini ataupun kelak adalah orang kaya sehingga membuat kita bisa dengan nyaman memakan makanan enak di tempat yang nyaman terus menerus. Tapi, perhatikan bagaimana pola pikir yang harus dimiliki oleh orang-orang kaya. Perhatikan pola pikirnya Abdurrahman bin Auf di kisah tersebut. Ia bukan justru berhusnudzon kepada dirinya sendiri bahwa kenikmatan-kenikmatan yang diterimanya hari itu adalah karena berbagai sedekah dan amal solehnya selama ini. Ia malah bersu'udzon kepada dirinya sendiri hingga berkata bahwa yang ia khawatirkan adalah kenikmatan ini adalah balasan yang telah Allah berikan di dunia sebagai ganti dari kebaikan-kebaikannya selama ini. Maksud ucapannya apa, sih? Ia hanya takut kalau segala kekayaannya, makanan-makanan enak, tempat-tempat nyaman yang dimilikinya adalah balasan dari Allah atas kebaikan-kebaikannya sebelumnya, sehingga nanti di akhirat yang tersisa adalah siksaan Allah semata.

Kesimpulan
Saya menghapus akun sosial media saya karena alasan yang saya miliki sendiri. Saya hanya ingin berpesan bahwa semakin kita dewasa, semakin penting bagi kita untuk mulai berpikir dan bersikap sesuai dengan apa yang benar. Saya tidak lantas memboikot instagram. Saya justru masih memiliki akun instagram rahasia yang isinya hanya untuk mengetahui informasi-informasi terkait dakwah ataupun terkait pemerintahan dan up to date apa yang sedang terjadi hari ini di berbagai penjuru dunia (boong deng, sekalian buat liat Kirana juga). Melalui instagram juga saya bisa melihat kualitas umat islam hari ini seperti apa, dan sampai detik ini saya melihat, sih, masih belum bisa bangkit. Masih terpecah belah karena politik, masih banyak yang pacaran (apalagi yang berjilbab), masih banyak yang selfie (apalagi selfie sambil kasih hadits-hadits motivasi sumpah itu alay banget), dan lain-lain. So, gunakan akun sosial mediamu untuk menjadi orang yang lebih baik saja. Jangan justru kita menyesal kelak karena melalui sosial media tersebut justru mengalir dosa-dosa kita yang tiada putusnya. Foto-foto perempuan misalnya yang suka selfie atau suka mengumbar aurat, toh selain kalian pamer demi menuai pujian, kalian juga menuai rentetan dosa-dosa yang terus menerus mengalir melalui pandangan orang-orang yang bukan muhrim. Be careful, be gentle, be smart, be responsible. Itu yang terpenting. Karena neraka panas coy. Kemarin saya kesiram air mendidih aja perihnya ampe sekarang nih.

2 komentar:

  1. Dari diksi dan gaya bahasa kukira cewe lho mas 😂✌🏿
    But, menginspirasi banget looh 🙏
    Semakin mantab untuk no sosmed

    BalasHapus