Minggu, 16 April 2017

Memperbaiki Kebobrokan Saya 1: Gempa Bumi & Tsunami

Saya, bisa dikatakan, ketika kecil adalah seorang anak yang nakal. Saya rewel, sering bertengkar dengan kakak saya, sering berontak jika keinginan tertentu tidak terpenuhi, sering kabur dari rumah, sering berkelahi dengan teman sebaya, dan sebagainya. Saya masih menyadari itu sampai hari ini. Masih tersimpan di memori saya bahwa suatu ketika saya pernah menjadi seorang yang sangat nakal. Di kelas 2 SD, saya pernah bertengkar dengan salah seorang teman saya hingga memecahkan salah satu jendela kelas. Tentu saja, hal itu membuat ayah saya harus dipanggil ke kantor sekolah pagi itu dan membuat saya diharuskan pulang ke rumah, tidak boleh melanjutkan sekolah pada hari tersebut. Di kelas 3 SD, saya pernah menempeleng kepala salah satu teman saya yang perempuan. Ia pada saat itu adalah teman cukup dekat, tinggal di satu perumahan dengan saya, kemudian ketika sedang bercanda saya pun menempeleng kepalanya dengan cukup kencang hingga ia menangis. Teman saya tersebut pun pada akhirnya mengadukan kejadian tersebut ke guru dan ibunya, membuat saya benar-benar harus merasakan betapa tidak enaknya dampak dari perbuatan tersebut. Sejak peristiwa itu, saya benar-benar pertama kali melihat bagaimana seorang ibu-ibu marah hingga melotot kepada saya. Di samping itu, setelah peristiwa itu, saya harus duduk di kursi yang sudah ditentukan oleh guru saya alias tidak boleh memilih tempat duduknya sendiri. Hingga sesuatu terjadi di kelas 3 semester 2. Sesuatu yang mungkin kita sering menyebutnya dengan sebutan: Hidayah.

Pagi itu adalah hari ketiga saya di Jogja, tepatnya hari Sabtu tanggal 27 Mei 2006. Libur 4 hari berturut-turut di tengah kesibukan dunia kantor dan sekolah, membuat saya yang berasal dari keluarga Pegawai Negeri Sipil tergoda untuk memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Adalah momen yang sangat jarang memang, karena keluarga saya biasanya hanya pergi ke Jogja di setiap momen Lebaran saja. Tapi, kali ini, Jogja seakan berbisik di telinga keluarga kami, meminta kami untuk berkunjung ke sana. Sebelumnya, saya sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi di hari sabtu tersebut. Selama saya di Jogja, tidak pernah terbesit firasat akan hadirnya fenomena-fenomena yang pada akhirnya akan merubah jati diri saya tersebut. Saya juga bukanlah seorang yang terlahir dari keluarga religius. Saat itu, saya masih berumur 9 atau 10 tahun dan saya sudah disunat setahun sebelumnya. Tapi, tetap saja saya tidak melaksanakan shalat fardhu secara full 5 waktu, puasa Ramadhan pun tentu saja masih bolong-bolong. Saya tidak pernah terpikirkan hal-hal lain, seperti apa makna hidup ini, kemana kehidupan ini akan berakhir, ada tidaknya hari akhir, dan sebagainya. Yang saya tahu pada saat itu hanyalah main, sekolah, beli tas baru, beli sepatu baru, berkumpul bersama saudara-saudara saya, dan lain-lain. Hingga hari itu akhirnya tiba, membuat pandangan saya terhadap dunia menjadi jauh berubah dan jauh berbeda.

Sekitar pukul 6 pagi, di pusat kota Jogja. Saat itu saya sedang dalam posisi tidur terlentang di depan tv, ngulet sambil berbincang-bincang dengan Ayah saya yang juga sedang tiduran di sebelah saya sambil menonton tv. Di sebelah tv ada sebuah pintu yang langsung terhubung dengan ruang tamu dan teras rumah. Di sana saya melihat kakak saya yang sedang tengkurap di atas sofa dan sesekali ikut berbincang dengan saya dan Ayah saya. Di belakang saya, terdengar suara ibu-ibu yang nampaknya sedang berbincang-bincang sambil memasak di dapur, saya asumsikan Ibu saya berada di sana bersama bulik-bulik saya. Semuanya berlangsung sangat normal seperti pagi hari biasanya, hingga getaran kecil mulai saya rasakan.

Saat itu, sekitar 20 detik awal, saya, Ayah saya, dan kakak saya nampaknya sama sekali belum khawatir tentang apa yang akan terjadi. Di awal ketika getaran kecil itu mulai terasa, Ayah saya bertanya kepada saya dan kakak saya: "Ini getaran apa ya?". Lalu, saya secara spontan langsung menjawab: "Ada truk lewat depan rumah kali", kakak saya yang nampaknya tidak melihat truk ataupun kendaraan bermuatan besar lewat di depan rumah pun lantas membalas: "Pesawat jatoh kali ya? Ngarah ke sekitar sini?". Saya sempat berpikir ketika kakak saya berkata seperti itu. Logis memang, karena rumah saya berada di jalur terbangnya pesawat yang hendak landing di Adisucipto. Namun, ada yang lucu. Kalau memang ada pesawat hendak jatuh ke sini? Kenapa di antara kami bertiga tidak ada yang berdiri untuk menyelamatkan diri? Atau setidaknya memastikan apakah benar ada pesawat yang jatuh atau tidak? Yang saya lihat, justru kami bertiga masih tetap tidur-tiduran di tempat kami masing-masing tanpa ada satupun yang tergerak untuk berdiri. Hingga getaran perlahan mulai mengencang, Ayah saya berdiri dengan cepat, berjalan ke luar rumah sambil bertanya dengan nada yang agak tinggi, "Ini merapi kenapa ya? Masa sih erupsi? Kayaknya statusnya masih siaga..". Saya masih mendengar ucapan Ayah saya tersebut, tapi belum sampai ucapannya selesai, sosok Ayah saya sudah tidak saya lihat karena terhalang tembok yang membatasi ruang tamu dan ruang nonton tv. Selepas ucapan Ayah tersebut, kondisi berubah menjadi hening untuk beberapa saat, tidak ada yang menjawab pertanyaan Ayah. Hingga... tiba-tiba Ayah saya berlari masuk ke dalam rumah sambil berteriak "Semuanya keluaar!!! Gempa!! Gempa!!". Saya lantas kaget, tapi masih tetap tiduran karena masih sangat ngantuk. Saya lihat kakak saya sudah bangun dan berdiri dengan wajah yang ketakutan sambil menghadap ke dalam rumah. Ayah saya tidak berhenti di ruang tv, ia langsung menuju dapur untuk menyuruh Ibu dan bulik-bulik saya segera keluar rumah. "Mama, kompor jangan lupa dimatiin!", ucapnya yang terdengar sangat keras. Semuanya lantas berlari ke luar rumah. Ibu saya dan bulik-bulik saya berlari terlebih dahulu. Ayah saya lalu ikut berjalan cepat sambil menyeret kaki saya hingga sampai di pintu ruang tamu. Saya lalu berdiri dan langsung berlari menuju jalan depan rumah.

"Andhika! Adhita! Sini nak!!!", sesampainya di luar rumah yang saya ingat adalah teriakan Ibu saya yang memanggil-manggil nama saya dan kakak saya. Saya ingat betul saat itu semua tetangga juga ikut memenuhi jalan dan saling berpegangan satu sama lain. Kondisi jalan sangat padat dan banyak sekali orang. Ada seorang bapak-bapak yang masih menggunakan sehelai handuk yang menutupi bagian lutut sampai pusarnya, ada ibu-ibu yang menggunakan mukena, ada anak-anak yang sudah berseragam dan siap untuk sekolah, dan lain-lain. Semua orang panik. Saya ingat ketika orang-orang sambil berpegangan tangan menunjuk ke arah genteng masjid yang satu per satu berjatuhan. Di detik itu juga, saya sama sekali tidak merasakan takut. Justru, yang saat itu ada di benak saya adalah perasaan-perasaan seperti 'keren bangeett! kapan lagi ngerasain kayak gini...' atau 'gile, anak depok mana lagi yang punya pengalaman keren ngerasain gempa kenceng banget kayak gini...'. Hingga akhirnya gempa pun berhenti dan, jujur saja, yang ada di benak saya pada saat itu adalah perasaan ingin merasakan gempa ini lagi. Satu hal yang masih saya ingat tepat setelah gempa itu berlangsung adalah ucapan Ibu saya yang membisiki saya dan kakak saya. Ia berbisik, "Mas, Enta, tadi udah pada sholat subuh belum?". Lalu saya menjawab dengan polos, "belum", tanpa tahu apa maksud pertanyaan Ibu saya. Saya lupa jawaban kakak saya apa. Lalu Ibu saya lanjut berbisik, "Tuh kan, Allah marah tuh gara-gara ngga sholat subuh. Besok-besok sholat subuh terus yaa.". Saya tidak menangguk pada saat itu. Saya juga tidak lantas masuk ke rumah untuk sholat subuh. Saya hanya berpikir dan mengazamkan diri dalam hati bahwa setelah ini saya tidak akan meninggalkan sholat subuh.

Sekitar pukul 8:30 pagi, di pusat kota Jogja. Gempa sudah berlalu, tapi kami masih berada di luar rumah karena khawatir akan terjadi gempa susulan. Dan benar saja, beberapa gempa susulan terjadi kurang lebih sampai 6 kali. Semua orang panik meskipun itu hanyalah gempa dengan kekuatan yang kecil. Ayah saya langsung menelfon salah seorang tetangga saya, Pak Imam, untuk memintanya mencaritahu info ter-update mengenai gempa saat itu. Kenapa meminta tolong ke Pak Imam untuk mencari tahu informasi? Karena setelah gempa tersebut, listrik di Jogja secara keseluruhan padam dan saat itu belum ada facebook, sehingga benar-benar tidak ada informasi yang masuk. Lalu, Ayah saya mengajak kakak saya pergi naik motor untuk melihat kondisi-kondisi kota dan merekamnya dengan menggunakan handycam, sedangkan saya dilarang untuk ikut. Kurang lebih sekitar 20 menit kemudian, Ayah dan Kakak saya pulang ke rumah dengan membawa segudang informasi, dari mulai memperlihatkan (lewat rekaman handycam) kondisi Jogja yang ternyata banyak sekali bangunan yang rubuh, cerita beberapa orang pengendara yang menyaksikan bahwa dataran di lapangan alun-alun terlihat bergelombang saat terjadi gempa, dan informasi gempa dari Pak Imam. Informasi dari Pak Imam tersebut mengatakan bahwa gempa yang terjadi barusan, berkekuatan 5,9 SR yang berasal dari Pantai Selatan Jogja.

Sekitar pukul 10 pagi, melihat kondisi yang nampaknya sudah mulai bersahabat, saya diajak oleh Ayah saya untuk ikut membeli gudeg langganan di pinggir jalan Solo, tidak jauh dari rumah. Saya digonceng di tengah, diapit oleh Ayah saya yang mengendarai motor dan kakak saya yang duduk di belakang saya. Saya berangkat dengan tidak membawa apa-apa, kecuali sebuah handycam yang saya genggam di tangan kanan saya. Sejak kecil memang ada dua ciri khas saya dan kakak saya. Saya dipercaya untuk memegang handycam jika bepergian ke mana-mana, sedangkan kakak saya dipercaya untuk memegang kamera canon jadul. Memang seakan sudah menjadi spesialis masing-masing, saya dalam hal rekam-merekam sedangkan kakak saya dalam hal foto-memfoto. Lalu, sesampainya di tempat gudeg pinggir jalan tersebut, saya lihat antrean cukup panjang. Nampaknya, memang banyak orang yang memilih memesan gudeg daripada memasak di rumah. Lalu, di tengah-tengah mengantre tersebutlah fenomena tak terlupakan selanjutnya terjadi. Apa itu? Yaitu isu Tsunami.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa jalan Solo yang saya maksud adalah Blok Jalan Solo yang dekat dengan rumah saya. Hari ini, jalan solo yang saya maksud tersebut adalah dari perempatan Empire XXI hingga (Demangan) hingga ke perempatan Galeria Mall. Jalan tersebut sangat lebar, ada 4 lajur dimana keempat lajur tersebut semuanya satu arah ke arah barat (arah Galeria Mall). Jika dilanjutkan ke arah barat, setelah perempatan Galeria Mall itu masih disebut dengan nama Jalan Solo hingga ke perempatan selanjutnya, yaitu perempatan Gramedia. Setelah itu baru nama jalannya berubah menjadi Jalan Jendral Sudirman dan juga sudah tidak satu arah lagi melainkan dua arah, walaupun total lajurnya tetap 4 (dua ke arah timur dan dua ke arah barat). Jadi, Jalan Solo yang saya maksud itu adalah jalan satu arah ke arah barat dari mulai perempatan demangan sampai ke perempatan Gramedia.

Apa yang terjadi di Jalan Solo tersebut? Kondisi saat itu, tidak sedikit kendaraan yang bergerak ke arah barat melalui jalan tersebut. Pandangan saya yang tadinya mengarah ke Mbah Penjual Gudeg tersebut, seketika beralih 180 derajat ke arah jalan raya. Saya beralih karena suara klakson kendaraan bermotor yang terus-terusan berbunyi dan tidak hanya berasal dari satu kendaraan saja, melainkan banyak kendaraan. Itulah pemandangan yang tidak pernah saya lupakan sampai saat ini, yaitu berbagai kendaraan berbondong-bondong bergerak dari arah barat ke arah timur (melawan arah) sambil mengklakson kendaraannya dan ada pula yang teriak-teriak mengatakan "TSUNAMIIIII!!!!! Airnya sudah sampai kali codee!!"

Panik memang. Saya juga panik. Lucunya, saya putar balik pandangan saya ke arah Mbah Penjual Gudeg tadi dan orang-orang yang mengantre, mereka semua sudah lari terbirit-birit hingga meninggalkan dagangan gudegnya tersebut. Lalu, di sebelah saya kakak saya berteriak-teriak kepada saya "Ayo Enta! Naik ke atas motor!", sambil memperlihatkan wajah yang belum pernah saya lihat sebelumnya, wajah panik hingga menangis. Lalu, saya secara spontan menjawab "Ga mau! Enta maunya di sini aja!", sambil berpegang ke tiang listrik di sebelah saya. Saya menjawab demikian karena dua hal: (i) saya kaget dan bingung sekali apa yang sebenarnya sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, (ii) saya ingin sekali merekam kejadian ini lewat handycam yang saya pegang sebagai kenang-kenangan dan untuk bisa dijual ke Metro tv sebagai liputan video amatir yang direkam oleh anak berusia 10 tahun. Jujur, itu yang pada saat itu saya pikirkan. Lalu, kakak saya mayakinkan saya untuk segera pergi dari sana, "Enta ini Tsunamii!!! Ini kayak di Aceh kemaren.....!!". Lalu kakak saya menangis sambil berkata ".....gabisa berenang lagi...".. Mendengar ucapan kakak saya bahwa ini adalah Tsunami seperti di Aceh, saya langsung membayangkan benar-benar fenomena Tsunami seperti di Aceh, membuat saya langsung panik dan ikut menangis. Ayah saya lalu menenangkan kami berdua dan langsung menggonceng kami menuju ke rumah. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah inilah, saya benar-benar merasa sangat bangga memiliki seorang ayah seperti Ayah saya. Ayah saya selain menggonceng dua anak kecil, yaitu saya dan kakak saya, ia juga berteriak-teriak menenangkan orang-orang yang menangis ketakutan, shock, dan benar-benar sudah hilang akal sehatnya karena benar-benar merasa dihadapkan langsung dengan musibah ini. Ia terus mengucapkan "Ga mungkin Tsunami!!! Tsunami itu dari selatan! Ga mungkin dari barat! Lagipula ini jaraknya jauh banget! Ga mungkin airnya sampai ke sini!!". Saya saat itu tidak mengerti dengan apa yang Ayah saya ucapkan, yang saya mengerti adalah selatan dan utara saja. Saya berada di jalan solo which is di sebelah utaranya rumah saya, dan bergerak menuju rumah saya yang berada di selatannya jalan solo. Tapi, selama perjalanan tidak ada air laut sama sekali. Saya juga benar-benar melihat betapa wajah ibu-ibu yang tadinya menangis karena panik bukan main sambil memeluk anaknya, berubah menjadi lebih tenang setelah Ayah saya menenangkannya dengan logika berpikir sederhana tersebut. Hingga, sesampainya di jalan depan rumah saya, saya lihat dari kejauhan Ibu saya, om saya, dan bulik-bulik saya sedang panik di depan rumah, tetapi untungnya tidak ikut berlari. Sedangkan di ujung jalan (langsung terlihat jalan raya), terlihat orang-orang berlarian di jalan raya menuju ke arah utara. Ayah saya dari kejauhan sudah berteriak untuk meminta mereka semua agar tetap tenang, termasuk untuk tetangga-tetangga saya. Menjelaskan bahwa tidak terjadi Tsunami dan kalaupun memang terjadi, tidak akan sampai ke tengah kota.

Itulah sebenarnya rangkaian musibah yang terjadi pada hari itu. Gempa 5,9 SR yang kemudian disusul dengan beberapa gempa susulan, hingga terakhir diakhiri dengan isu Tsunami yang menggegerkan seisi Jogjakarta. Secara musibah atau penderitaan fisik, sebenarnya isu Tsunami menjadi penutup hari itu. Tapi, secara mental, musibah ini belum berakhir. Semua warga Jogja hari itu diminta untuk tidak tidur di dalam rumah, alhasil semua orang kepala keluarga mengeluarkan karpet dan beberapa kasur ke luar rumah. Listrik juga padam hingga malam hari, sehingga warga hanya berpegang pada lampu baterai dan radio. Satu lagi yang sangat mengguncang mental adalah prediksi yang disampaikan salah seorang entah professor atau ahli gempa atau ilmuan, saya sendiri lupa, mengatakan bahwa malam ini sekitar jam 11 malam akan terjadi gempa dengan kekuatan sekitar 11 SR mengguncang Jogjakarta. Kabar tersebut disebar melalui radio dan didengar semua orang, termasuk saya yang mendengar langsung ucapan tersebut keluar pertama kali di radio. Siapa yang tidak shock mendengarnya? Pernyataan tersebutlah yang benar-benar sangat ditakuti seluruh warga di sisa hari tersebut. Bayangkan jika benar-benar terjadi gempa 11 SR? Bangunan-bangunan akan runtuh, bahkan Tsunami bisa benar-benar terjadi. Aceh saja yang Tsunaminya sebesar itu hanya gempa dengan kekuatan 9,2 SR, bagaimana jadinya bila 11 SR? Itulah yang benar-benar ditakuti oleh seluruh warga. Saya pada saat itu hanya dapat berhadap jika hal tersebut benar-benar tidak terjadi.

Hari semakin gelap, kedua orang tua saya sempat bilang bahwa kita akan pulang di malam hari ini, tapi masih ragu-ragu dengan ucapannya, saya tidak tahu kenapa. Hingga saya, sampai pada kesimpulan bahwa kami akan tetap pulang hari Ahad dan berusaha melewati apa yang akan terjadi malam ini bersama-sama. Pada sekitar pukul 10 malam, saya memutuskan untuk tidur, karena disamping saya memang sudah ngantuk, saya tidak ingin terus menerus dihantui rasa takut akan terjadinya gempa 11 SR itu. Lagipula jika memang benar-benar gempa, saya akan dibangunkan oleh orang-orang di sekitar saya. Kemudian saya terbangun dengan kondisi sedang tidur seorang diri di depan rumah saya. Di sebelah kiri saya terdapat sebuah lampu baterai yang sekaligus radio masih terus menyala. Di sebelah kanan saya gelap, di depan dna belakang saya terdapat orang-orang yang berjarak kurang lebih 20 meter dari tempat saya tidur. Jadi, ya saya benar-benar bisa dibilang tidur seorang diri. Setelah bangun, saya lantas masuk ke dalam rumah untuk menemui keluarga saya dan langsung disambut dengan kakak saya yang sedang memindahkan tas ke teras rumah. Lalu, saya bertanya, "Jam berapa sekarang?". Kakak saya menjawab, "jam 12" sambil berjalan mengambil tas lainnya di dalam kamar. Hati saya nampak seperti 'plong' mendengar ucapan tersebut. Saya lanjut mengekor kakak saya sambil terus bertanya, "Tadi ga ada gempa??". "Ga ada", jawab kakak saya. "Kita pulang malam ini.". Perasaan saya, lantas, benar-benar lega setelah mendengar bahwa info gempa tersebut ternyata hanyalah hoax dan tidak terjadi. Ditambah lagi malam ini kami akan menerobos kegelapan kota Jogja dan DIY untuk pulang ke Depok. Saya jadi semakin excited.

Segala perjalanan hidup yang saya alami hari itu pun diakhiri dengan perjalanan pulang ke Depok yang paling memorable dalam hidup saya. Karena saat itu kami mbenar-benar merasa seperti kejar-kejaran dengan gempa. Kami menjauh dari pusat gempa dan bergerak  di tengah kegelapan. Kali itu juga pertama kali saya merasa naik mobil di tengah sebuah kota yang mati, karena benar-benar kota tersebut gelap sekali dari Jogja hingga keluar DIY. Di samping itu, itu juga menjadi rekor perjalanan tercepat kami sekeluarga, karena berhasil sampai Bandung pada pukul 6:30 pagi. Keren, kan? Berangkat jam 12:30 dan sampai di Bandung jam 6:30 pagi. Hanya 6 jam Jogja - Bandung. Sesampainya di Bandung, kami lantas stay di rumah saudara saya dan sore harinya barulah melanjutkan perjalanan kami ke Depok.

Itu adalah kisah yang pertama kali saya alami dan benar-benar merubah diri saya. Saya merasakannya betul. Sejak saat itu, saya seperti melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh anak-anak seumuran dengan saya. Saya seperti memikirkan sesuatu yang tidak dipikirkan oleh anak-anak seumuran saya. Saya ingat ketika teman-teman saya bercerita tentang pulang kampung, bermain dengan teman-temannya, atau berlibur bersama keluarga, saya justru bercerita tentang musibah yang tidak terlupakan ini, tentang orang tua yang wafat, tentang bangunan yang rubuh, dan sebagainya. Saya benar-benar menjadi lebih dewasa sejak saat itu. Saya menjadi lebih dekat dengan keluarga saya sendiri, lebih bangga dengan keluarga saya sendiri, lebih patuh kepada kedua orang tua, lebih menghormati kakak saya, berusaha untuk tidak menyusahkan orang lain, dan berusaha untuk terus sholat dan mendekatkan diri kepada Allah. Sejak saat itu saya benar-benar mengerti bahwa hidup ini tidak hanya berisikan manusia-manusia saja, melainkan ada Dzat yang mengatur. Ada Dzat yang dapat menciptakan sesuatu yang tidak dapat dikontrol oleh manusia.

Maka, hari ini saya terus berpikir dan bersyukur. Ketika saya melihat salah seorang sepupu saya yang duduk di kelas 6 SD dan bandelnya bukan main, saya ingat tentang diri saya ketika masih kelas 2 SD dan sebelumnya. Lalu, ketika saya berpikir bagaimana cara untuk merubah mereka dan sudah saya coba terus menerus, hasilnya selalu gagal. Kalaupun mereka berubah dan benar-benar menjadi lebih baik, seperti melakukan sholat, sopan pada kedua orang tua, membantu pekerjaan orang tua, dan lain-lain, itu hanya berlaku mungkin satu dua hari saja. Setelah itu mereka kembali ke sifat normalnya. Kembali meresahkan orang tuanya. Saya lantas berkata dalam hati, "memang hidayah itu hanya kehendak Allah semata". Saya tidak pernah menyangka bahwa saya akan cenderung bergerak di "jalur orang-orang religius" dan lebih cenderung mem-branding diri saya sebagai seorang yang religius, padahal saya bukan berasal dari keluarga yang religius, padahal saya boleh saja melakukan kemaksiatan-kemaksiatan standard, seperti pacaran, tos-tosan sama perempuan, atau mungkin merokok. Saya hari ini baru menyadari bahwa saya sendiri bahkan tidak mengerti kenapa saya cenderung menyukai hal-hal seperti ini. Hingga pada akhirnya saya menyadari, mungkin inilah yang memang Allah kehendaki bagi saya. Mungkin di balik ini semua ada kedua orang tua saya yang senantiasa mendoakan saya, sehingga saya senantiasa berada di jalan ini dan senantiasa dekat dengan orang-orang yang baik. Mungkin di balik ini semua ada orang-orang yang dulu pernah diperlakukan baik oleh kedua orang tua saya, lalu mendoakan kebaikan bagi kedua orang tua saya. Karena saya yakin, faktor-faktor semacam itulah yang mungkin membuat saya hari ini dapat mengenal agama dengan cukup baik, dapat berpikir jernih dalam menghadapi hidup, dewasa, dan yang lebih penting adalah jangka panjang. Tidak hanya memikirkan dunia, melainkan juga memikirkan kehidupan akhirat.

Satu hal yang saya ingin sekali wujudkan adalah, saya ingin sekali membahagiakan kedua orang tua saya di akhirat kelak. Membuat kedua orang tua saya tidak mengalami sedikitpun siksa kubur nantinya di alam barzah. Membuat kami sekeluarga dapat berkumpul bersama di surga. Tapi, nyatanya tidak mudah. Keluarga saya masih terlilit dengan dunia riba, saya masih harus terlibat dengan dunia pengetahuan barat dan masih harus lulus dari ini semua, dan lain-lain. Sulit untuk menyadarkan orang lain bahwa kehidupan akhirat nanti hanya ada dua pilihan, yaitu surga dan neraka. Sulit menyadarkan orang lain bahwa masuk surga itu tidak semudah yang kita pikirkan dan tidak cukup dengan amalan-amalan kita yang hanya sekadar puasa, shalat fardhu di masjid, dan semacamnya. Kita masih suka bergosip, masih suka su'udzon, masih suka berkata kasar, melihat hal-hal yang buruk, mendengarkan musik, dan lain-lain. Saya, di balik ini semua, hanya ingin membayar segala pengetahuan yang saya punya ini dengan surga. Saya hanya ingin membayar doa-doa ibu saya yang berujung pada kebaikan yang ada pada diri saya ini dengan surga untuknya, Saya hanya ingin membayar ini semua dengan kebaikan yang sesungguhnya, dengan kenikmatan yang sesungguhnya. Bukan kenikmatan yang sementara di sini, bukan dengan kebaikan-kebaikan yang sementara di sini. Karena saya sangat takut, ketika kebaikan dan kenikmatan yang terus menerus diberikan di dunia ini, ternyata adalah kebaikan dan kenikmatan yang memang sengaja Allah berikan di dunia, hingga di akhirat kelak tidak ada yang tersisa bagi kita, kecuali sisaan dariNya.

Semoga Allah menjaga saya dan keluarga saya. Memberikan hidayah kepada yang membaca tulisan saya ini. Memudahkan segala urusannya di dunia ini. Dan menjadikannya orang-orang yang sadar untuk mulai belajar ilmu agama islam.

Ditulis oleh Adhita Prananda
di Smart Lounge,
Lippo Plaza, Yohyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar