Selasa, 01 September 2015

Another Day In Paradise

She calls out to the man on the street..
"Sir, can You help me?"
"It's cold and I've nowhere to sleep"
"Is there somewhere You can tell me?" 
He walks on, doesn't look back..
He pretends he can't hear her..
Starts to whistle as he crosses the street..
Seems embarrased to be there..
Tulisan di atas merupakan penggalan lirik lagu "Another Day in Paradise" karya penyanyi fenomenal Phil Collins. Ya, saya memang suka dengan lagu-lagunya 'Opa Phil'. Tapi, bukan karena saya yang nge-fans melainkan Ayah saya. Beliaulah yang mencekoki saya dengan lagu-lagu Phil Collins sejak kecil (TK kali ya.. Kecil banget lah). Yang jelas, ketika saya atau kakak saya bertanya tentang Phil Collins ke Ayah saya, Beliau akan menjawab dengan lengkap sebagaimana saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin Anda tanyakan tentang Sheila On 7.

Oke, singkat cerita.. Di postingan ini, saya tidak akan membicarakan Phil Collins ataupun Sheila On 7. Melainkan, tentang kehidupan kelas bawah di Jogja.

Gimana?? Prolog yang sangat tidak berguna, bukan? XD

Saat-saat yang membuat saya teringat akan lagu ini adalah ketika saya sedang makan di Angkringan. Yap, warung remang-remang pinggir jalan khas Kota Jogja ini, jujur, selalu memberikan banyak pelajaran buat saya. Dari mulai penampilan warungnya, pedagangnya, ataupun konsumennya yang mayoritas adalah supir taksi, tukang becak, sampai mahasiswa. Mereka semua selalu memberikan pelajaran tentang apa arti hidup sesungguhnya.

Siapa sangka bahwa pedagang angkringan pinggir jalan yang penampilannya super dekil, matanya nahan ngantuk, tidur-bangun-tidur lagi ia lakukan di bawah tenda angkringannya, ternyata pernah hidup makmur dengan harta yang melimpah plus penampilan super gaul ala celana jeans Levis dan sepatu Nike (curhatan seorang Pedagang). Siapa sangka??

Atau seorang supir taksi yang terlihat ganteng nan rapih di dalam mobil, ternyata ia punya sejuta masalah yang dipendamnya, tapi selalu dengan enjoy  ia curhatkan di bawah tenda Angkringan. Siapa sangka??

Siapa pula yang menyangka bahwa orang-orang yang mendengarkan curhatannya di dalam tenda adalah stranger yang qodarullah duduk berada di satu tenda dengannya? Siapa sangka??

Lagu Another Day In Paradise yang saya yakin telah tercipta sebelum saya dilahirkan ke muka bumi, secara umum, cukup menggambarkan kondisi orang-orang gelandangan yang hidup tidak seberuntung kita. Tidak hanya tentang pedagang Angkringan, tapi juga pedagang-pedagang lain yang mencari nafkah di trotoar-trotoar Jogja, mereka yang tidak hanya mencari uang, tapi juga harus mengeluarkan uang iuran, baik secara resmi ke Pemerintah Jogja, ataupun secara non-resmi ke preman-preman daerah setempat untuk sekadar bisa melanjutkan usahanya menghidupi keluarga.

Dan juga para anak-anak gelandangan yang berlari kesana-kemari, menari-nari di zebracross perempatan Sagan, atau menjadi buruh serampangan di Pasar Kranggan. Merekalah kumpulan orang-orang yang terpaksa ataupun memilih untuk menjadikan jalan dan trotoar menjadi kasur empuk yang menemani malam-malam mereka.

Ada banyak pelajaran yang saya dapatkan dari kunjungan-kunjungan saya ke tenda Angkringan dan perkenalan saya dengan kehidupan anak jalanan di awal semester satu, diantaranya :

1. Bersyukur
Pertama kali saya makan di angkringan adalah ketika saya hendak berkeliling Jogja untuk mencari tukang tambal ban di tengah malam. Singkat cerita, saya berhasil menemukan tukang tambal ban. Rasa lelah yang timbul setelah pencarian panjang berujung pada Angkringan yang terletak tepat di samping tukang tambal ban. Saya dan seorang teman saya pun masuk dan disambut oleh seorang Bapak yang sedang tiduran dengan memakai sarung menyelimuti tubuhnya. Maka, bersyukur adalah pelajaran yang saya dapatkan di detik pertama saya memasuki Angkringan. Bersyukur karena terlahir dari keluarga yang mampu. Bersyukur bisa mengenyam pendidikan sejauh ini. Bersyukur masih ada atap dan kasur yang empuk untuk beristirahat.

2. Belajar Mendengarkan + Nambah Vocab Jowo
Setelah mengenal Angkringan, saya pun tak jarang main ke Angkringan untuk sekadar ngemil ataupun makan makanan berat, khususnya akhir bulan (hehe). Di sinilah saya seringkali mendengar curhatan-curhatan para kepala keluarga tentang keluh kesahnya. Baik itu supir taksi, tukang becak, tukang parkir, mahasiswa, atau tukang-tukang pinggir jalan lainnya. Ya, keterbatasan ekonomi membuat mereka harus bekerja sampai malam demi menafkahi keluarga mereka yang setia menunggu di rumah. Dengan modal pemahaman saya akan bahasa jawa yang pas-pasan, saya mencoba mendengarkan curhatan mereka dan ikut tertawa bersama. Dan sensasinya luar biasa asik loh! Cobain deh.

3. Diskusi dan Sosialisasi
Saya sarankan, jika Anda hendak bergaul dengan mereka di Angkringan atau warung-warung makan semacamnya, jangan pernah mengenalkan identitas asli kalian. Karena pendidikan tinggi kalian yang mungkin akan menyelesaikan topik perbincangan yang sedang asyik terjadi, dan itu pengalaman yang pernah saya lalui. Ketika seorang supir taksi curhat tentang naiknya harga barang-barang, beban ekonomi yang semakin berat dipundaknya akibat ditinggal mati salah seorang keluarganya, ia mencurhatkan semua keluh kesahnya tentang hal-hal yang berbau kebijakan ekonomi. Dan semuanya selesai ketika pada akhirnya saya memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

Masih ingat cerita ketika Rasulullah memberi makan seorang yang buta? Ketika seorang yang buta dan renta mencaci-maki Rasulullah di depan Beliau padahal justru Rasulullah yang memberinya makan setiap harinya. Ia baru tahu ketika ada seorang yang sepertinya berbeda, datang memberinya makan siang itu. Ketika Sang Kakek bertanya, maka sahabat menjawab bahwa yang memberinya makan selama ini adalah Rasulullah yang seringkali ia caci-maki.

4. Motivasi Belajar
Di Jogja, jujur, banyak sekali pemandangan yang menyentuh hati. Dimanapun mungkin bisa kita jumpai. Baik itu seorang bapak tua yang sedang menarik gerobak berisi puing-puing bangunan, atau Ibu-ibu tua mengipas-ngipas sate di hadapannya, anak kecil yang berlari di tangga tanpa mempedulikan ibu mereka sedang meminta-minta di pintu masuk sebuah Mall, sampai seorang remaja yang sedang menari di zebracross, ketika Jogja diguyur hujan cukup deras. Banyak sekali pemandangan seperti itu, tapi terkadang kita tidak melihatnya. Ya, saya pun terkadang tidak menyadari. Yaitu ketika saya sedang sibuk dengan gemerlap dunia yang seakan menetesi hati saya sedikit demi sedikit dengan tinta hitam.

Merekalah pemandangan yang Allah perlihatkan kepada kita sebagai insentif untuk belajar lebih sungguh-sungguh. Mungkin tidak selalu dengan uang receh yang kita berikan. Mungkin belajar sungguh-sungguh agar kita bisa membantu mereka kelak, baik dari segi kebijakan pemerintah, membuka lapangan kerja, atau sekadar menyantuni dan mendoakannya, adalah cara yang cukup bijaksana bagi seorang akademisi. Ya, asal sungguh-sungguh ingin membantu mereka.

.


.



.



Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar ? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, …” (QS 90 :11-14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar