Kamis, 30 Maret 2017

Mencintaimu Layaknya Sapardi Djoko Damono

Kemarin, saya sempat melihat sekilas salah satu channel televisi yang menayangkan sosok Sapardi Djoko Damono. Beliau merilis 7 buku di usianya yang ke-77. Kehadirannya di televisi tersebut membuat saya mengenang kembali beberapa puisi yang pernah saya baca dan sangat menginspirasi saya. Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin adalah dua dari sekian banyak puisinya yang paling membekas di benak saya. Saya mengenal Hujan Bulan Juni sejak SMP, ketika saya hendak mengikuti Lomba Nasyid dan disitulah untuk pertama kalinya saya mendengarkan seseorang membacakan Puisi Sapardi Djoko Damono tersebut. Beranjak ke SMA, tepatnya di kelas X, untuk pertama kalinya saya mendengar puisi Aku Ingin di Youtube. Impresi pertama kali saya mendengar puisi tersebut sangat membekas berkat untaian kata yang sangat estetik, emosional, dan sekaligus sarat makna. Hingga di sebuah Lomba Pidato yang pernah saya ikuti di akhir kelas XI, saya mengawali pidato saya dengan puisi tersebut, walaupun pada akhirnya saya tidak menang. Di saat itulah saya sempat disinggung oleh teman-teman dan guru saya dengan ucapan, "Lo punya suara pidato,tapi hati lo puitis dhit. Ga cocok ngasih pidato. Baca puisi aja."


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api,
yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan,
yang menjadikannya tiada.

Puisi Aku Ingin adalah sebuah puisi yang sangat membekas di hati saya. Puisi tersebut di satu sisi membuat saya merenungi arti mencintai sesungguhnya, dan di sisi lain membuat saya belajar bahwa mencintai itu jauh melebihi dari sekadar kata-kata di bibir. Kalau kalian searching di Google tentang interpretasi puisi di atas, kalian akan menemukan begitu banyak orang yang mencoba menginterpretasikan puisi tersebut berdasarkan interpretasi mereka masing-masing. Ada yang menganggap puisi tersebut menggambarkan keterlambatan dalam mengungkapkan cinta, ada yang menganggap puisi tersebut menggambarkan mencintai orang lain secara sembunyi-sembunyi, dan lain-lain. Adapun saya, saya memiliki interpretasi yang lebih berbeda lagi dengan dua interpretasi di atas. Menurut saya, interpretasi dari puisi tersebut adalah tentang pengorbanan dalam mencintai.

Cinta pada dasarnya dapat merubah seseorang, termasuk saya. Saya adalah orang yang berubah karena cinta. Puisi ini menarik saya kembali ke masa ketika saya masih menjadi seorang anak SD. Dulu, saya adalah orang yang sangat bandel. Kelas 2 SD saya pernah bertengkar dengan salah satu teman saya hingga memecahkan salah satu jendela kelas. Kelas 3 SD pun saya pernah menangis kencang hingga merepotkan seluruh guru di sekolah saya, termasuk istri dari Kepala Sekolah saya yang turut turun tangan menenangkan saya. Tapi, kemudian saya mulai berubah di akhir kelas 3 SD, tepatnya ketika saya mengalami langsung musibah gempa bumi di Jogjakarta.

Sebelum peristiwa itu berlangsung, saya tidak pernah merasakan sebuah pembuktian cinta yang sesungguhnya. Keluarga saya bukanlah keluarga yang romantis yang kerap kali mengucapkan kalimat-kalimat cinta antara satu dengan yang lain. Rasa cinta kedua orang tua saya kepada saya dan kakak saya lebih mereka tunjukkan lewat larangan, omelan, nasihat-nasihat, dan beberapa pemberian dimana itu semua adalah hal-hal yang seringkali tidak seketika membuat saya aware dengan cinta dari kedua orang tua saya. Peristiwa gempa 2007 itulah yang membuat saya benar-benar menyadari betapa kedua orang tua saya sangat mencintai saya dan juga kakak saya. Saya ingat ketika Ayah saya menarik kaki saya keluar rumah ketika gempa mulai terasa, lalu Ibu saya berteriak-berteriak "Andhika! Adhita! Kesini!" sambil bergenggaman tangan satu sama lain. Saya juga ingat ketika Ayah saya yang saat itu sedang menggonceng saya dan kakak saya di jok belakang sepeda motornya, tetap tenang ketika dihadapkan dengan isu Tsunami yang membuat seluruh pengendara kendaraan bermotor balik arah dan bergerak ke arah timur dengan sangat panik. Ketika orang-orang di sekitar saya menjerit, menangis, teriak, mengucapkan kalimat-kalimat tahmid dan takbir, serta menyebut nama orang-orang yang mereka sayangi, justru pada saat itu Ayah saya tetap tenang sambil menenangkan saya dan kakak saya yang pada saat itu juga hampir menangis. Tidak hanya itu, Ayah saya juga turut membantu menenangkan orang lain di luar sana, mencoba menenangkan dengan logika berpikir sederhana "Ga mungkin Tsunami dari arah Barat! Lautnya di Selatan!". Sederhana memang logikanya, tapi kalau lah kalian tahu bagaimana kondisinya saat itu, semua orang hampir tidak bisa berpikir sehat karena takut akan kematian yang sudah di depan mata. Di saat itulah saya melihat secara langsung sosok Ayah saya yang sangat heroik, menjaga saya dan kakak saya yang sama-sama masih SD saat itu, sekaligus menenangkan orang-orang yang ada di kiri kanan jalan sambil bergerak menuju rumah untuk memastikan Ibu saya baik-baik saja. Di akhir, setelah gempa yang kencang itu selesai, ibu saya duduk di sebelah saya dan kakak saya sambil berbisik, "Kalian udah sholat subuh belum tadi? Tuh, Allah marah loh kalo kita bangun siang terus ga sholat subuh. Mulai besok sholatnya jangan ditinggal ya.". Mulai saat itulah saya benar-benar mulai tidak meninggalkan sholat serta mulai menjadi dewasa, tidak kekanak-kanakan lagi.

Peristiwa-peristiwa semacam itulah yang sebenarnya menunjukkan rasa cinta yang sesungguhnya. Tentang bagaimana kedua orang tua kita walaupun tanpa sempat menyampaikan rasa cintanya kepada kita, mereka selalu menunjukkannya dengan sikap rela berkorban apapun demi kehidupan kita. Mereka rela banting tulang menjalani pekerjaan dan kehidupan yang tentunya tidak akan mulus-mulus saja, hanya demi kita. Mereka persis seperti kalimat "dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api, yang menjadikannya abu" dan kalimat "dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada". Maka, inilah sisi lain dari interpretasi puisi yang senantiasa saya renungi. Bahwa sebenarnya, kita tidak layak untuk mengeluh, membuat kesal, bahkan berani bersikap lancang kepada kedua orang tua kita. Karena bagaimanapun kondisi mereka di tengah carut marut pikiran mereka oleh pekerjaan, atau pengaruh-pengaruh lainnya, pada dasarnya mereka sangat mencintai kita sebagai anak-anaknya.

Adapun sisi lain dari interpretasi puisi ini adalah pembelajaran yang diberikan tentang cinta. Puisi ini mengajarkan tentang bagaimana kita mencintai orang lain dengan penuh ketulusan dan rasa rela berkorban. Maka, pembelajaran ini sangatlah sesuai bagi saya dan kita yang sebagai orang muslim. Karena cinta lah yang mendasari munculnya keramah-tamahan. Cinta lah yang mendasari munculnya sikap husnudzon satu sama lain. Cinta lah yang mendasari munculnya rasa saling tolong menolong dengan penuh keikhlasan. Dengan adanya pembuktian lewat perbuatan-perbuatan tersebut, yakinlah bahwa tidak perlu lagi kita menanyakan rasa cinta mereka kepada kita karena mereka sudah membuktikannya dengan pembuktian yang baik. Termasuk dengan lawan jenis, muslim sejati tidak akan dengan mudahnya mengungkapkan rasa cinta kepada lawan jenis kecuali lewat jalan yang halal, yaitu pernikahan. Maka, bagi kita yang belum mampu untuk menyatakannya lewat jalan yang halal, percayalah, pasti kita akan mengungkapkannya lewat jalan yang haram. Dan itu dilarang. Walaupun keduanya sama-sama suka dan sama-sama rela saling menunggu hingga 10 tahun mendatang. Bagi muslim sejati yang belum mampu menyatakannya lewat jalan yang halal, cukuplah baginya bersabar dan menunjukkan rasa cintanya lewat pengorbanan-pengorbanan, termasuk mengorbankan apabila si lawan jenis kelak dinikahi terlebih dahulu oleh laki-laki lain. Karena jika ia adalah muslim sejati, ia akan sadar bahwa jodohnya tidak akan diambil orang lain.

(kok endingnya jadi galau sih........)

Ditulis oleh Adhita Prananda
Klitren Lor, Yogyakarta
31 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar