Jumat, 19 Agustus 2016

My Mama Was Saying..

Ibu saya pernah berkata, "Jadi laki-laki itu harus komplit: harus cerdas, jago olahraga, pinter agama, dan bisa main musik."

Saya sangat ingat, saat itu satu komplek rumah saya sedang mati listrik. Dan itu adalah hal yang biasa terjadi ketika saya SD. Ketika mati listrik itulah biasanya saya duduk bersama ayah, ibu, dan kakak saya. Kami mendengarkan Ayah saya bermain gitar, menyanyikan lagu-lagu Ebiet G Ade dan mendengarkan Ibu saya bercerita dan sesekali memberikan nasihat. Suatu ketika, ketika Ayah saya sedang bermain gitar, Ibu saya menatap Ayah saya dan berkata ke saya, "Jadi laki-laki itu harus komplit: harus cerdas, jago olahraga, pinter agama, dan bisa main musik."

Ketika saya beranjak dewasa, saya masih sangat mengingat perkataan Ibu saya tersebut. Kalimat tersebutlah yang menjadi pertimbangan saya dalam melangkah. Kalimat tersebutlah yang membuat saya memilih untuk mengikuti ekskul KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) ketika awal SMP, lalu ikut ROHIS (Rohani Islam) juga ketika awal SMP, dan saya sempat bisa bermain gitar ketika kelas 5 SD sampai SMP kelas 2 sebelum akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi bermain gitar.

Oke mari kita bahas secara lebih rinci ucapan Ibu saya tersebut. Di dalam ucapan Ibu saya tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi indikator laki-laki komplit ala Bu Eka (Ibu saya). Mari kita bahas satu per satu.

1. Harus Cerdas.
Bagi saya, untuk menjadi seorang anak yang cerdas, semua berawal kembali lagi kepada sosok Ibu. Karena Ibu saya lah yang telah menjalani proses yang sangat panjang, dari mulai masa hamil atau masa-masa saya di dalam kandungan, lalu melahirkan saya dengan selamat, menyusui saya, merawat saya, dan mendidik saya. Semua itu mungkin jika diakumulasi hanya selama 3-4 tahun hingga saya akhirnya berumur 4 tahun dan sudah mampu berbicara dan melakukan beberapa aktivitas seorang diri. 4 tahun yang mungkin sangat singkat, tapi dijalani penuh dengan hati-hati oleh Ibu saya, sehingga saya dapat terlahir sebagai manusia yang sehat, gembira, dan memiliki pola pikir yang baik.

Barulah kemudian kita mulai menentukan sendiri kemana kita akan bergerak, kepada siapa kita memutuskan untuk berteman, seperti apa sosok diri kita yang kita inginkan. Walaupun memang di dalamnya ada faktor doa Ibu saya yang mengarahkan ke lingkungan yang seperti apa saya memilih untuk hidup di dalamnya.

Dan akhirnya, saya berani berkata bahwa kecerdasan yang selama ini saya miliki. Otak yang ada dalam diri saya, yang kemudian saya gunakan untuk mampu diterima di SMP 3 Depok, SMAN 1 Depok, dan saat ini berkuliah di Universitas Gadjah Mada, adalah karunia yang sejak awal sudah dijaga kualitasnya oleh orang tua saya. Sehingga saat ini saya sangat nyaman memanfaatkannya dan mampu menggunakannya sebebas-bebasnya dan mengoptimalkannya sejauh kemampuan saya.

2. Jago Olahraga.
Sama dengan poin pertama, saya juga merasa bahwa fisik yang saya miliki saat ini semuanya adalah dampak dari kasih sayang orang tua saya dalam merawat saya ketika saya kecil. Saya merasa bersyukur memiliki fisik yang alhamdulillah normal, dan dengan bebas mampu melakukan berbagai hal yang saya sukai, termasuk berolahraga. Saya memilih untuk bermain futsal, sepak bola, bulu tangkis, pingpong, dan baseball. Dan yaa, saya cukup mahir di olahraga futsal.

3. Pinter Agama.
Sejujurnya, saya sama sekali tidak terlahir dari keluarga yang fakih dalam agama. Tapi, berawal dari perkataan Ibu saya tersebutlah kemudian saya mulai tertarik untuk masuk ke organisasi keislaman yang ada di sekolah. Walaupun pada akhirnya orang tua saya seringkali mengingatkan saya akan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ada, seperti ajaran-ajaran sesat, terorisme, dll. Tapi, saya berusaha untuk tetap bersikukuh memasuki organisasi keislaman yang ada di sekolah, karena bagi saya di sanalah pintu saya bisa memiliki relasi dari orang-orang yang memiliki pemahaman agama yang lebih baik.

Singkat cerita, kemudian saya merasa sangat nyaman di lingkungan Rohis. Faktor terbesarnya adalah karena di sana saya sering bertemu dengan alumni-alumni pengisi mentor yang seringkali menginspirasi saya. Banyak juga tips yang bisa saya dapatkan terkait dengan akademis melalui mereka. Hingga akhirnya saya ditunjuk menjadi Ketua Rohis di SMP 3 Depok dan kemudian berlanjut menjadi ketua di Rohis SMAN 1 Depok.

Masa-masa SMA lah yang kemudian lebih banyak saya manfaatkan untuk menuntut ilmu agama. Kenapa? Karena di sana saya baru merasakan berada di tengah teman-teman yang sangat semangat mencari ilmu. Semangat itulah yang kemudian mendorong saya untuk ikut belajar bersama mereka. Banyak hal yang saya dapatkan ketika SMA dan Kuliah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran dalam menjalani aktivitas sehari-hari, salah satunya adalah soal bermain musik.

C. Bisa Bermain Musik
Ada 2 buku yang pernah saya baca, yang pertama adalah Munhajul Qashidin oleh Ibnu Qudamah, dan yang kedua adalah Buku Halal Haram Kontemporer oleh Ustadz Erwandi Tirmidzi. Kedua buku tersebut mengharamkan musik yang kemudian menjadikan barrier yang sangat besar dalam hidup saya. Larangan tersebut didasarkan pada beberapa hadits, salah satunya adalah hadits yang berbunyi: "Akan datang suatu masa dimana terdapat sekelompok umatku yang menghalalkan perzinahan, menghalalkan memakai kain sutra (bagi laki-laki), menghalalkan (meminum) khamr, dan menghalalkan alat musik." (HR. Bukhari)

Tapi, memang ada pendapat yang melarang dan ada pula pendapat yang membolehkannya dengan alasan dan syarat-syarat tertentu. Wallahu A'lam.

Namun, jika kita kembalikan ke awal. Saya memang pernah bisa bermain gitar. Saya belajar bermain gitar sejak kelas 5 SD secara otodidak bersama kakak saya. Hingga ketika saya masuk ke SMP, tepatnya ketika saya kelas VII SMP, saya melihat banyak sekali teman saya yang mahir bermain gitar. Dan sejak saat itulah saya merasa bahwa dunia ini sudah tidak lagi membutuhkan seorang gitaris. Maka, saya memutuskan untuk tidak lagi bermain gitar.

Tidak berhenti sampai di situ. Selepas saya memutuskan untuk tidak lagi bermain gitar, di dalam diri saya masih terdapat keinginan untuk bisa bermusik. Namun, di dalam diri saya, saya juga bingung bagaimana caranya. Hingga muncul-lah sebuah trobosan untuk bermusik secara acapella. Kala itu saya di Rohis dipertemukan dengan sebuah perlombaan bernama Lomba Nasyid, tapi kala itu saya tidak ikut karena saya tidak punya tim nasyid. Sejak saat itulah saya menjadikan nasyid sebagai profesi saya.

Saya sempat memiliki sebuah grup nasyid bernama Ukhuwah Voice ketika SMP kelas VII sampai dengan kelas VIII awal. Tapi itu masih sangat amatir. Saya sedih jika mengingat-ingat ke masa itu. Setelah itu, barulah saya membuat sebuah tim nasyid bersama salah satu teman saya bernama Farhandika Nafil. Kami melakukan penyaringan terhadap anak-anak yang menurut kami memiliki kapabilitas di nasyid. Hingga akhirnya terbentuklah sebuah tim nasyid bernama SENASIP (Senandung Nasyid Paling Sip!) selama kurang lebih 10 bulan, sebelum akhirnya kami merubah nama dan lebih terkenal secara profesional melalui nama SIKLUS ACAPELLA.

Saya dan SIKLUS memiliki perjalanan yang sangat panjang. Dari mulai tampil di SMP 3 itu sendiri, di masjid-masjid sekitar sekolah, hingga diundang oleh beberapa fakultas di Universitas Indonesia dan Universitas Negeri Jakarta, memenangkan berbagai perlombaan dari berbagai level, dan terakhir diundang sebagai bintang tamu di beberapa acara termasuk salah satunya di acara Mudik Bareng Telkomsel 2011 dimana di sana juga diundang Bapak SBY dan Bapak Andi Malaranggeng.

Kelas IX SMP sampai dengan kelas X SMA adalah masa-masa kejayaan Siklus Acapella, walaupun mulai berpisah karena perbedaan SMA, kami masih sering kumpul, latihan, dan manggung di beberapa tempat. Tapi, kemudian ketika saya mulai naik ke kelas XI SMA, seiring dengan semakin saya sibuk di Rohis, semakin saya juga mengenal Islam lebih dalam, semakin besar petunjuk yang saya dapatkan. Hingga di akhir kelas XI SMA saya membuat sebuah keputusan yang sangat berat, yaitu keluar dari SIKLUS. Keputusan inilah yang kemudian diikuti oleh teman-teman saya hingga akhirnya kami sepakat untuk membubarkan diri dan membagi-bagi sisa uang kas yang ada. Saat itu per orang mendapatkan uang kurang lebih Rp 500.000, merupakan sisa dari penampilan-penampilan saya selama bernasyid.

 Kemudian sampai detik ini, saya sejujurnya masih sangat sulit untuk meninggalkan musik dan saya tetap berusaha untuk meninggalkannya. Karena memang musik sangat mendarah daging di kehidupan kita. Di restoran kita bertemu musik, di film-film yang kita tonton pun bertemu dengan musik, di kampus kita dengan mudahnya menemui lagu-lagu, di manapun.

***

Dan inilah jejak hidup saya bersama musik yang harus saya akhiri. Saya berusaha untuk mampu memenuhi kriteria Laki-Laki Komplit ala Ibu saya, tapi saya terpaksa harus meninggalkan salah satu keinginan Ibu saya, yaitu bisa bermain musik. Kenapa? Karena poin ke-3 yang berbunyi 'Pintar Agama', setelah saya dalami justru akan sangat bertolak-belakang dengan poin ke-4 ini, yaitu 'Bisa bermain musik'. Di sini saya tidak menyalahkan Ibu saya karena memang Ibu saya bukanlah orang yang fakih agama. Tapi, melalui hal inilah akhirnya saya mendapatkan hikmah, bahwa mungkin melalui saya, Allah mencoba untuk memberikan pemahaman kepada Ibu saya, khususnya keluarga saya tentang Islam yang kaffah.